Minggu, 13 Januari 2013
Pebisnis dan Tanggung Jawabnya
Pebisnis dan Tanggung Jawabnya
Oleh: Faizatul Fitriyah*
Setiap individu, kelompok, dan perusahaan termasuk pelaku bisnis tidak bebas sendiri menentukan apa yang menjadi cita-cita dan tujuannya. Tetapi ada sebuah nilai dan tata cara (aturan) yang harus diperhatikan agar orang lain tidak dirugikan. Akhirnya, terciptalah yang namanya tatanan hidup yang saling menguntungkan. Hal seperti itu juga menjadi prinsip dalam praktek ekonomi dan pelalu bisnis.
Dengan perkembangan ekonomi yang begitu pesatnya, akan menambah semangat para pebisnis untuk terus meningkatkan bisnisnya seefesien mungkin. Pebisnis semakin terdorong untuk terus berusaha mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya, mereka menganggap keuntungan harga mati. Walaupun cara mendapatkannya harus dengan cara apa saja. Mereka layaknya mempunyai kebebasan dalam menggerakkan laju bisnisnya.
Keuntungan merupakan tujuan utama dari aktifitas bisnis, jika tanpa keuntungan maka pelaku bisnis tidak akan bergerak, investor tidak akan menanamkan modalnya jika tanpa pemicu (yaitu keuntungan). Disamping itu dengan keuntungan setiap organisasi atau perusahaan bisa bertahan dengan kegiatan bisnisnya.
Ironisnya pelaku bisnis menangkis balik masalah keuntungan itu sendiri, terkadang mereka mengambil keuntungan banyak di atas penderitaan masyarakat seperti halnya pasca kenaikan BBM, sidang belum juga kelar harga bensin dinaikkan terlebih dahulu mendahulukan ketentuan yang berlaku. Jika bukan harga yang di naikkan maka nilai takar bensin itu sendiri mengurang, karena biasanya penuh sampai mulut leher. sekarang bisa sampai dibawa leher botol bensin itu sendiri (khusus pengecer), ada juga orang dagang kue yang semakin hari ukuran kuenya makin mengecil dan mengempes padahal harganya sudah dinaikkan. Sungguh sangat mengejutkan sekali.
Berkaca pada ekonomi Cina yang ketika harga naik, wujud barang yang dijual tidak berubah dari aslinya pasti masyarakat akan terus menganugerahkan kepercayaan pada setiap pelaku bisnis sehingga rakyat (konsumen) yang sejahtera tidak hanya dari kalangan (pebisnis) atas saja akan tetapi merata sampai ke masyarakat kalangan bawah.
Maka dari itu sangat diharapkan bagi pelaku bisnis (tanpa terkecuali), mengambil untung tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga memikirkan kesejahteraan rakyat kecil. Karena bagaimanapun tanpa rakyat kecil, rakyat kalangan atas bukanlah apa-apa, karena suatu saat mereka akan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.
Setiap pelaku bisnis haruslah memahami apa etika bisnis agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan apalagi sampai merugikan masyarakat. Misalnya dalam mendapatkan keuntungan dipergunakan sebagai ekspansi perusahaan sehingga perusahaan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat yang pontang panting, kesana kemari mencari pekerjaan. Mereka pasti merasa sangat beruntung jika masih ada manusia yang membutuhkan tenaganya. Dan sebaliknya rakyat kecilpun juga akan menghargai pelaku bisnis dengan sepenuh hati.
Marilah kita bersama bergerak mengangkis martabat rakyat kecil yang hidup di tempat yang di anggap kurang layak. Misalnya dikolom jembatan, masih untung tidak ada sampah yang berserakan di sekitar kolom jembatan itu. Kalau hanya menunggu uluran tangan dari pemerintah rasanya tidak mungkin sekali. Pelaku bisnis haruslah bertindak tegas atas masalah itu, agar semakin hari tidak semakin bertambah angka kemiskinan di negeri kita. Karena realitanya Indonesia mendapatkan peringkat terakhir jika dilihat dari tingkat kemakmurannya. Mari kita renungi dan praktikkan bersama rasa kasih sayang dan menghargai terhadap saudara kita (bangsa Indonesia). Kalau bukan kita siapa lagi?
* Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya & Alumnus PP. At-Taufiqiyah - Sumenep.
STRATEGI MERENCANAKAN KEUANGAN
Strategi Merencanakan Keuangan
Judul Buku : Islamic Financial Planning
Penulis : Iwan Rudi Saktiawan
Penerbit : Madani Prima, Bandung
Cetakan : I, 2012
Tebal : 140 Halaman
Peresensi : Faizatul Fitriyah*
Dengan semakin berkembangnya zaman, pastinya akan memicu perkembangan intelektual yang seharusnya kita miliki,tak hanya memikirkan banyaknya penghasilan yang di tuntut harus banyak dan menguntungkan. Akan tetapi bagaimana cara kita mengelola penghasilan kita. Dalam memperoleh penghasilan hendaknya kita harus sabar dalam menunggu datangnya hasil,jika tidak maka kita akan melakukan berbagai macam cara untuk cepat mendatangkan hasil yang kian melimpah. Walau sebenarnya cara yang kita lakukan sangatlah melenceng dari norma agama dan akan berdampak tidak baik pada orang lain. Sebagaimana yang telah banyak di singgung dalam Al-qur’an, yang berbunyi: “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan di usahakannya besok.”(Q.S.Luqman,31:34).
Nah, oleh karena itu dalam ilmu menejemen, perencanaan memiliki posisi yang penting karena mengawali fungsi-fungsi manajemen yang lain terutama dalam mengelola keuangan. Fungsi-fungsi selanjutnya seperti halnya monitoring dan evaluasi, kualitasnya di pengaruhi oleh baik dan tidaknya perencanaan itu sendiri. Bahkan orang bijak mengatakan bila kita mampu merencanakan dengan baik maka setengah kemenangan yang akan kita raih. Sebagai bahan untuk monitoring dan dan evaluasi pengelolaan keuangan dalam keluarga. Ada baiknya kita secara rutin mengevaluasi sampai sejauh mana pengelolaan kita mencapai tujuan finansial. Dalam hal ini bukan hanya masyarakat umum atau kaum ibu, tapi bapak-bapak juga yang akan membentuk bahtera (rumah tangga).
Dalam mengurus keluarga atau rumah tangga itu gampang-gampang susah ,apalagi ketika di hadapkan dengan masalah keuangan ,pasti “rumit bin pusing” karena mereka selalu saja merasa kurang. Mungkin hal yang seperti ini tidak hanya di alami oleh satu rumah tangga, bahkan semua rumah tangga pasti mengalami persoalan baik dalam masalah pengeluaran ataupun pendapatan. Tak jarang hal yang seperti itu diperselisihkan, sehingga tak heran jika perabotan rumah tangga beterbangan kesana-kemari, dan mengakibatkan semua itu luluh lantah dan berantakan. Semua itu terjadi karena faktor finansial dan fulus, akibatnya jalinan kasih yang diharapkan berjalan dengan happy ending kini berakhir dengan end happy ending.
Didalam beberapa lembaga media massa, baik TV, radio, koran hingga alat-alat teknologi yang sekarang dikenal luas dengan kata internet sudah banyak di informasikan bagaimana pasangan keluarga suami istri khususnya dikalangan selebritis yang mengalami perceraian, hal semacam itu tidak hanya karena orang ketiga serta penghianatan yang menjadi biang keladinya akan tetapi juga masalah ekonomi yang menjadi penghambat didalamnya.
Masalah yang terdapat dalam masalah ekonomi, salah satunya adalah kurangnya pendapatan, tidak terencananya pengeluaran, maka timbullah pembelanjaan yang berlebihan, hingga dikejar-kejar penagih karena utang yang menumpuk tak terbayar-bayar, hal ini merupakan masalah keluarga yang tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Kecuali dengan segera dicari solusinya sehingga hubungan dalam keluarga bisa bertahan lama.
Sebenarnya masalah utama dari hal ini bukan karena kurangnya pendapat, akan tetapi cara memenej keuangan belum dilaksanakan dengan baik. Seperti halnya pendapatan yang besar akan selalu tidak cukup jika dalam keluarga itu sendiri berperilaku boros dalam membelanjakannya. Jika terencana secara baik pengeluarannya, ia akan merasa bahagia bahkan bisa menabung. Sangat luar biasa bukan?.
Hal ini tidak akan langsung terjadi sebelum kita tahu ilmu dan bagaimana cara menerapkannya, maka dari itu belajar mengelola keuangan dalam keluarga itu sangatlah penting. Ketika keuangan sudah tercanangkan dengan baik, ia akan mencicipi kebahagiaan bahkan merasakan hidup yang sebenarnya.
Buku ini hadir dengan tujuan untuk merefresh pikiran anda terutama dalam masalah perencanaan keuangan keluarga anda. Dengan lugasnya,penulis menguraikan tips dalam berhemat,pentingnya membuat perencanaan keluarga,menciptakan kehidupan ekonomi rabbaniah hingga terwujudnya keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Maka dari itulah buku ini cocok untuk anda yang sudah berumah tangga,dan bagi siapapun yang ingin mengelola keuangan secara cerdas dan islami.
* Mahasiswa Prodi Ekonomi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya. HP. 087850138164
IJMA'
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepeninggal Rasulullah SAW, permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam bermacam-macam dan kompleks sekali, sedangkan sumber hukum berupa Al-Quran maupun Al-Hadits yang berfungsi sebagai solusi segala permasalahan sudah berhenti sepeninggal Rsulullah Saw. Sebenarnya semua permasalahan itu sudah ada penyelesaian problemnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits, akan tetapi ada yang secara tekstual dan langsung tercantum dan tidak secara tekstual tercantum, sehingga membutuhkan kecakapan di dalam memahami Al-Quran. Para ulama bersepakat untuk mncari sumber hukum yang baru akan tetapi dasar hukum dan batasan-batasannya tetap pada Al-Quran dan Al-Hadits. Salah satu contohnya Ijma’.
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Ijma’ dan berbagai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi Ijma’ ?
2. Apa dasar hukum Ijma’ ?
3. Apa saja rukun-rukun Ijma’ ?
4. Bagaimana kemungkinan terjadinya Ijma’ ?
5. Apa saja macam-macam Ijma’ ?
6. Bagaimana Permasalahan Ijma’ di zaman kontemporer?
BAB II
LANDASAN TEORI
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang ( ) yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.
Menurut Al-Amidi, ijma’ secara bahasa yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Secara terminologi, ada sejumah rumusan ijma’ dikemukakan pra ahli ushul fiqh. Imam al-Ghazali dalam bukunya Al- Mustasshfa fi ‘ilm Ushul menjelaskan ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama. Dalam definisi ini, al-Ghazali menetapkan ijma’sebagai kesepakatan seluruh umat Muhammad atau umat Islam, bukan hanya khusus para ulama, tetapi termasuk masyarakat umum(awam). Pendapat al-Ghazali ini tampaknya mengikuti pendapat imam Syafi’i yang mensyaratkan ijma’ sebagai kesepakatan umat. Dalam definisi ini al-Ghazali tidak mensyaratkan ijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Alasan yang dikemukakan al-Ghazali karena pada masa Nabi Muhammad SAW, Ijma’ tidak diperlukan mengingat keberadaan Nabi SAW, sebagai Syari’ (pembuat dan penemu hukum) tidak membutuhkan ijma’.
Sementara Al-Amidi mendefinisikan ijma’ dengan dua versi. Definisi ijma’ yang pertama hampir mirip dengan definisi yang dikemukankan al-Ghazali, yaitu sebagai kesepakatan seluruh umat islam karena pendapat yang dapat terhindar dari kesalahan apabila disepakati selurh umat Islam. Sementara Definisi ijma’ kedua yang dikemukakan adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halil wal ‘Aqd (para ahli Yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus. Melalui definisi ini Al-Amidi tidak memasukkan orang awam sebagai bagian penentu keberadaan ijma’.
Sementara menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ yaitu kesepakatan para Imam Mujtahid diantara umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau suatu kejadian.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi Ijma’
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang ( ) yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.
Menurut Al-Amidi, ijma’ secara bahasa yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ dalam pengertian ini sejalan dengan firman Allah surat Yunus, 10:71:
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)...
Menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ yaitu kesepakatan para Imam Mujtahid diantara umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau suatu kejadian. Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur.
1. Kebulatan dapat terwujud, apabila pendapat seseorang sama dengan pendapat orang-orang lainnya.
2. Apabila ada yang tidak menyetujui maka tidak ada ijma’, karena hanya pendapat golongan terbanyak bisa menjadi hujjah.
3. Kalau pada sesuatu masa hanya terdapat seorang ahli ijtihad, maka tidak ada ijma’. Pendapat perseorangan tidak jauh dari kemungkinan kesalahan.
4. Kebulatan pendapat orang-orang biasa tidak disebut ijma’. Dipersamakan dengan mereka orang-orang yang lapangannya bukan penyelidikan hukum-hukum syara’.
3.2 Dasar Hukum Ijma’
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisa': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c. Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.3 Rukun-rukun Ijma’
Dalam definisi diatas dijelaskan bahwa sepakat semua mujtahid Muslim pada suatu masa terhadap hukum syar’i. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa rukun Ijma’ itu ada empat.
1. Pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
2. Sepakat atas hukum syar’i tentang suatu peristiwa.
3. Ada kesepakatan itu dimulai. Tiap-tiap mereka mengeluarkan pendapat terang-terangan tentang suatu peristiwa.
4. Menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum.
3.4 Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Ulama’ ushul fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan tentang kemungkinan terjadi Ijma’ ulama’. Menurut al-Nazzam, sebagian pengikut Syiah dan sebagian penganut paham Mu’tazilah menyatakan bahwa ijma’ dengan rukun-rukunnya tidak mungkin terjadi. Semantara jumhur ulama’menilai mungkin terjadi secara adat.
Mereka yang menolak kemungkinan terjadi Ijma’mengemukakan tiga alasan.
1. Mustahil terjadi kesepakat mujtahid, seperti mustahilnya pada saat yang sama terjadi kesepakatan mereka untuk makan dengan satu jenis makanan dan berbicara dengan kalimatyang sama.
2. Tersebarnya para mujtahid di berbagai penjuru dunia sehingga sulit untuk menyampaikan hukum yang akan disepakati.
3. Kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum adakalanya didasarkan kepada dalil qath’i yang tidak membutuhkan ta’wil atau adakalanya didasarkan pada dalil zanni.
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
1. Periode Rasulullah SAW;
2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
3. Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur`an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma’ itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijma` tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW,
2. Ijma` mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman dan setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang. Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisa’ atau sebagai ahlul halli wal `aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
3.5 Macam-macam Ijma’
Ijma’ umat tersebut dibagi dua:
1. Ijma’ qauli yaitu suatu ijma’dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik secara lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ bayani atau ijma’ qath’i.
2. Ijma’ sukuti yaitu ijma’ dimana para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja terhadap ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yag hidup dimasanya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ ittibari. Dan dapat dikatakan sah apabila.
1. Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan.
2. Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan dipandang cukup untuk mrngemukakan pendapatnya.
3. Permasalahan yang difatwaka oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihati yang bersumber dalil-dalil yang bersifat zhanni.
Keabsahan Ijma’ sukuti
Menurut pengikut Maliki dan Imam Syafi’i bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Misalkan tidak melakukan ijtihad pada suatu masalah atau takut mengemukakan pendapat, sehingga tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau zhanni. Jika demikian tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal, menyataan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujah yang qath’i. Alasannya adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat atau tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan sebagian mjtahid lainnya.
Al- Kurhi dari golongan Hanafi dan al Amidi dari golongan Syafi’iyah menyatakan bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah yang bersifat zhanni.
Disamping itu ijma’ umat tersebut, masih ada macam-macam ijma’ yang lain, yaitu:
3. Ijma’ sahabat.
4. Ijma’ khalifah yang empat.
5. Ijma’ Abu Bakar dan Umar.
6. Ijma’ ulama’ Madinah adalah
7. Ijma’ ulama’ Kufah dan Basrah.
8. Ijma’itrah (ahli bait =golongan Syiah).
3.6 Permasalahan Ijma’ Di Zaman Kontemporer
Untuk menuju sebuah ijtihad, problem yang muncul pada masa kini adalah
keterbatasan para cendekiawan Islam kontemporer dalam penguasaan berbagai cabang keilmuan baik keislaman maupun keduniawian yang terkait dengan masalah baru yang muncul tersebut yang kemudian menimbulkan skeptisisme sebagian kalangan akan kemungkinan terjadinya ijtihad yang profesional dan proporsional
Problematika kontemporer yang variatif dan cukup komplikatif yang disebabkan oleh perkembangan gaya hidup manusia yang disebabkan
Banyaknya terjadi perselisihan dan kontroversi. Di antara sebab-sebab terjadinya perselisihan antara umat Islam adalah banyaknya perbedaan fatwa-fatwa individu. Hal ini membuat kesulitan bagi umat Islam untuk memilih di antara fatwa-fatwa yang berkembang.
Merupakan satu keniscayaan ketika hendak menetapkan hukum terhadap satu masalah kontemporer untuk melihat hakekat permasalahannya, tidak silau dengan nama-nama atau pun istilahnya. Karena hukum syara’ hanya berhubungan dengan hakekat dan pengertian, bukan dengan lafadz dan susunan kata. Sebagian contoh dari ijpermasalahan ijma’di zaman kontemporer.
Menurut Syaltut bahwa mengkonsumsi narkoba haram hukumnya. Keharaman narkoba diqiyaskan dengan keharaman minum khamer. Dia berpendapat illat keharaman khamer itu adalah karena merugikan orang yang meminumnya baik secara mental, fisik, spiritual, ekonomi, bahkan sosial. Unsur-unsur perusak yang terdapat dalam khamer terdapat pula dalam narkoba. Karena adanya kesamaan illat inilah yang menjadikan narkoba haram hukumnya.
Pendapat ini kalau dikaitkan dengan prinsip ijtihad tampaknya Syaltut menggunakan metode qiyas, dengan mengambil persamaan illat hukum dari khamer yang sudah jelas hukumnya dengan narkoba yang merupakan masalah kontemporer yang tidak disebutkan hukumnya dalam al-Qur’an.
Mahmud Syaltut berpendapat bahwa bersalaman dengan perempuan tidak menyebabkan batalnya wudlu. Pendapat ini dikemukakan berkaitan dengan pengertian (Lamastumun Nisa) dalam surat al-Maidah ayat 6. Di antara argumentasi yang dikemukakan Syaltut berdasarkan hadits-hadits yang menunjukkan tidak batalnya wudlu ketika tangan laki-laki dan perempuan bersentuhan. Selain itu tiadanya kebutuhan wudlu saat bersentuhan tangan dengan perempuan merupakan kemudahan (rukshoh) yang diajarkan oleh syariat.
Dalam hal ini Syaltut memperluas pemahaman tentang makna “Lamastumunnisa” tidak hanya bermakna menyentuh, namun berhubungan seksual dengan lawan jenis. Pendapat ini dikokohkan Syaltut dengan dasar hadits yang berbicara tentang hal tersebut. Berdasarkan metode ijtihad yang Syaltut gunakan dalam hal ini peran memiliki porsi yang kuat dalam menjelaskan makna ayat al-Qur’an.
BAB IV
KESIMPULAN
Menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ yaitu kesepakatan para Imam Mujtahid diantara umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau suatu kejadian.
Rukun-rukun Ijma’ :
1. Pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
2. Sepakat atas hukum syar’i tentang suatu peristiwa.
3. Ada kesepakatan itu dimulai. Tiap-tiap mereka mengeluarkan pendapat terang-terangan tentang suatu peristiwa.
4. Menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum.
Demikian penjelasan dari makalah penulis, semoga apa yang telah diuraikan diatas dapat memberikan manfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie, A. 1998. Ushul Fiqh. Jakarta : Widjaya. Hasan, Ali M.1996. Perbandingan Madzhab. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hasan, M Ali. 1996. Perbandingan Madzhab. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Http://sitibaizurah.multiply.com/journal/item/55.
Khallaf, Abdul Wahab. 1993. Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Syaltut, Mahmud. 1972. Al-Fatawa, Beirut: Dar asy-Syuruq.
Syam, A. Slamet Ibnu. 2010. Refleksi Atas Komplesitas Problematika & Keterbatasan Pr Cendekiawan Islam Kontemporer diakses tanggal 23 September dari http://moslemz.multiply.com/journal/item/100.
Syarifudin, Amir. 2004. Ushul Fiqh, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta : Zikrul Hakim.
_. 2010. Konsep pengertian Ijma’ diakses tanggal 23 September 2010 dari Http://makalah- gratis.blogspot.com/2007/09/ijma-ushul-fiqh.html.
KAIDAH AL-DHARRU YUZALLU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa bahaya atau kesusahan. Pembawaan alamiah ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatis dan praktis, selalu berupaya merengguh kebahagiaan dan berupaya menghindari bahaya-bahaya di dalam kehidupannya. Upaya yang demikian adalah wujudan sifat manusiawi setiap orang. Dan Islam tidak menampik realitas semacam ini, melainkan mengadopsinya dalam bingkai-bingkai hukum yang apresiatif dan akomodatif. Sebagai bukti adalah makna yang terangkum dalam konsep salah satu kaidah fiqh yang secara eksplisit memotivasi untuk membuang jauh-jauh semua bahaya baik bahaya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain yakni kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan).
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) dan berbagai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengetian kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) ?
2. Apa landasan dasar hukum kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) ?
3. Apa cakupan kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) ?
4. Apa saja sub kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Konsepsi dari kaidah al-dlararu yuzallu (kemadharatn harus dihilangkan) ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti) baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
2.2 Landasan Kaidah
Dasar kaidah ini diambil dari hadits riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa’, al-Hakim dalam al-Mustadrak, Ibn Majah dan al-Bayhaqi. Yakni ( Jangan membahayakan diri dan orang lain).
Bila ditinjau dari bahasa, hadits ini memiliki banyak makna, pertama. Kata dlarar (tanpa alif) bermakna perbuatan yng dilakukan seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri, dan dhilar (dengan memakai alif) bermakna perbuatan yang bersifat interelasi (dilakukan dua orang atau lebih) dan bisa berbahaya, baik diri sendiri maupun orang lain. Menurut ulama lain, al-dharar dan al-dhirar seperti bentuk al-qatal dan al¬qital, adalah memadaratkan orang lain yang tidak memadaratkan kita, sedangkan al-dhirar adalah memadaratkan orang lain yang memadaratkan kita dengan cara yang tidak disyari’atkan, seperti harus mitsli (seimbang) dan dalam rangka menegakkan kebenaran. Kedua, dlarar dan dlirar menggunakan isim nakirah, dikala kedua isim nakirah itu bertemu dengan huruf nafi (la) yang berfungsi menafikan segala jenis sesuatu (dalam hal ini menafikan semua jenis dlarar), maka makna yang dikandung oleh hasil penggabungan keduanya berarti mengharuskan ketiadaan bahaya dalam segala bentuk. Pada titik fokus inilah para fuqaha’ kemudian merumuskan keharaman berbuat dlarar, yang pada akirnya menjadi pondasi terbangunya formulasi kaidah al-dlararu yuzallu.
Secara etimologi, kata dlarar adalah antonim dari manfaat (khilaf al-naf’i). Secara terminologi, mengutip paparan Fakhr al-din al-Razi, dlarar adalah sebuah perasaan sakit atau tidak nyaman yang terbesit dalam hati. Disebut perasaan sakit karena apabila menimpa diri kita maka hati akan merasa sakit, dan disebut tidak enak karena baik fsik atau psikis (jiwa) akan merasakan ketidaknyamanan saat ditimpa bahaya tersebut.
2.3 Cakupan Kaidah
Inti dari kaidah ini hanya menegaskan soal kewajiban menghilangkan dlarar setelah ia menimpa kita. Artinya permasalahan furu’iyyah yang termuat di dalamnya adalah persoalan dimana dlarar-nya yang sudah terjadi dan harus segera dihilangkan. Sementara untuk dlarar yang beum terjadi, maka furu’iyyah-nya termuat dalam sub-kaidah al-dlarar yudfa’u bi qadr al-imkam. Beberapa permasalahan yang dirangkum kaidah ini, antara lain:
1. Diperbolehkannya mengembalikan barang yang sudah dibeli yang di dalamnya terdapat kerusakan. Sebab bila tidak boleh dikembalikan maka si pembeli akan rugi. Apabila barang yang sudah dibeli itu tidak boleh dikembalikan dalam keadaan apapun(rusak), hal ini jelas mengabaikan dan membiarkan terjadinya dlarar pada pembeli. Padahal al-dlarar harus yuzallu.
2. Dibelakukannya khiyar (hak untuk memilih) dalam hukum muamalah. Semuanya merupakan upaya preventif syariah agar antara penjual dan pembeli tidak mendapat kerugian disaat, di dalam, atau sesudah proses transaksi. Sebab dalam Islam, kerugian adalah salah satu bentuk mudharat yang harus dihilangkan.
3. Pemberlakuan faskh al-nikah (gugatan cerai di depan hakim) yang dilakukan seorang isteri kepada suaminya yang mempunyai cacat. Sebab bila ia terus bertahan menerima keadaan suami, maka ia pasti mendapatkan kesulitan-kesulitan yang belum tentu mampu ditanggung.
4. Al-hijr (pembatasa wewenang dalam men-tasharruf-kan hak milik), mempunyai banyak faktor yang melatar belakanginya, diantaranya si pemilik masih kanak-kanak, gila, sembrono. Mekanisme al-hijr yang diterapkan pada mereka untuk memelihara kemaslahatan mereka sendiri dan menghindari bahaya pengeksploitasian mereka serta diberlakukan bagi orang yang terlilit banyak hutang, sebab hal itu melindungi hak orang-orang yang berpiutang. Disini orang-orang yang berutang dilarang membelajakan hartanya agar hak orang lain tidak hilang.
5. Syuf”ah (hak membeli pertama), ditetapkan sebagai milik partner kongsian untuk menepis bahaya pembagian barang kongsian, sedangkan hak syuf’ah bagi seorang tetangga dimaksudkan untuk menepis bahaya perlakuan buruk bertetangga yang mungkin ia terima dari tetangga baru yang dapat jadi berkelakuan buruk.
6. Qishash dalam konteks jiwa dan hudud disyariatkan untuk menepis bahaya yang menyeluruh dari masyarakat dan memelihara kelima prinsip umum yaitu jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta.
2.4 Sub Kaidah (AL-QAWA’ID AL-MUNDARIJAH)
Diantara sub kaidah yang memiliki esensi senada dengan al-dlarar yuzallu adalah:
1. (bahaya harus ditolak semampu mungkin)
Secara substantif, kaidah ini menandakan bahwa segala macam bahaya, jika memungkinkan harus ditangkal secara total, tetapi bila tidak bisa, maka cukup ditolak semampunya saja, sesuai kadar yang dimiliki. Ketentuan ini berdasarkan konsep dasar fiqh, bahwa setiap taklif syariat harus disesuaikan dengan kadar kemampuan mukallaf untuk melaksanaknnya,firman Allah dala surat al-Baqarah, 286.
“Allah tidak membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya”
Contohnya pemberlakuan jihad sebagai benteng pertahanan agama bertujuan untuk mencegah bahaya yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam, jika pasukan musuh sudah memasuki kawasan Islam, maka seluruh umat Islam diwajibkan berperang mempertahankan agamanya sekuat tenaganya.
2. (kondisi dlarurah akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang)
Banyak sekali cakupan permasalahan dalam kaidah ini kecuali kufur, membunuh, berzina. Ketiga jenis perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun, ermasuk kondisi dlarurat.
Sebagian diantara contohnya yaitu membuka aurat di depan dokter saat proses pengobatan. Dalam permasalahan ini, membuka aurat yang pada asalnya diharamkan menjadi diperbolehkan mengingat kondisi sakit yang memang mengharuskan aurat itu dibuka. Namun tentu sesuai dengan kadar kebutuhan saat pengobatan saja.
3. (sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat harus disesuaikan dengan kadar dlaruratnya)
Sesuatu yang asalnya dilarang kemudian diperbolehkan karena keadaan terpaksa, tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya, melainkan harus disesuaikan dengan kadar dlarurah yang diderita. Contohnya seperti seseorang yang berada dalam kondisi mendekati kematian karena kelaparan, dia bisa mendapat rukhsah, yakni diperbolehkan makan daging bangkai, yang hanya merupakan penyambung hidupnya, ia tidak boleh (haram) makan sepuas-puasnya, karena setelah nyawanya terselamatkan, maka ia sudah tidak dikategorikan sebagai mudlthar. Dengan demikian, hukum diperbolehkan makan barang haram telah hilang sebab hilangnya alasan yang memperbolehkannya.
4. (bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lain)
Menurut Abdullah bin Said Muhammad al-Lahji, yang dimaksud dlarar tidak dapat dihilangkan dengan dlarar yang lain adalah seseorang tidak boleh menghilangkan bahaya pada dirinya dengan menimbukan bahaya pada orang lain. Contoh, orang yang hampir mati kelaparan tidak diperbolehkan memakan barang milik orang lain yang juga mengalami nasib yang sama dengannya. Sebab dengan merampas hak milik orang yang yang sama-sama kelaparan, maka sama saja dengan menghilangkan bahaya diri sendiri dengan mendatangkan bahaya baru pada orang lain.
5. (mencegah bahaya lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan)
Sub kaidah ini bahwa hal-hal yang dilarang dan membahayakan lebih utama untuk ditangkal, daripada berusaha meraih kebaikan dengan mengerjakan perintah-perintah agama, sementara di sisi lain membiarkan terjadinya kerusakan. Contohnya yaitu diperbolehkannya meninggalkan shalat jumat karena faktor sakit atau takut di perjalanan menuju masjid. Shalat jumat jelas merupakan mashlahah yang mengandung pahala besar, tapi bila penyakit menjadi semakin parah maka mencegah ha-hal yang tidak diinginkan tersebut lebih diutamakan.
6. (bahaya khusus harus ditempuh untuk menolak bahaya umum)
Kaidah ini sangat erat kaitannya dengan maqashid al-syar’iyyah dalam menjaga nilai-nilai kemashlahatan umat manusia. Contohnya Diperbolehkan menonaktifkan seorang mufti yang serampangan dalam mengambil keputusan hukum demi menjaga tegaknya hukum di tengah-tengah masyarakat.
7. (keadaaan darurat tidak membatalkan hak orang lain)
Jika dihubungkan dengan hak milik orang lain keadaan dharurat tidak sampai menggugurkan hak yang sudah seharusnya menjadi milik orang lain. Contohnya seseorang yang dalam keadaan dharurat memakan makanan orang lain harus membayar harga nominal makanan yang telah ia konsumsi. Dalam keadaan dharurat (mudlthar), seseorang memang diperbolehkan memakan makanan orang lain. Namun bukan berarti ia tidak diwajibkan menggantinya keadaan darurat tidak menyebabkan seorang (mudlthar) lepas dari tanggungjawab memberi ganti rugi pada hak milik orang lain.
8. (kebutuhan terkadang disetarakan dengan kondisi dlarurah, baik kebutuhan umun maupun khusus)
Hajah dalam kondisi tertentu dapat menjadikan hal-hal yang pada mulanya dilarang menjadi boleh dikerjakan. Contohnya memandang lawan jenis yang bukan mahram (terutama pria dan wanita) hukumnya adalah haram. Namun jika unsur melihat karena didorong faktor kebutuhan seperti jual-beli, sewa-menyewa, atau transaksi-transaksi lainnya, maka hukumnya menjadi mubah, meskipun hanya sebatas wajah.
BAB III
KESIMPULAN
Bila ditinjau dari bahasa, hadits ini memiliki banyak makna, pertama. Kata dlarar (tanpa alif) bermakna perbuatan yng dilakukan seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri, dan dhilar (dengan memakai alif) bermakna perbuatan yang bersifat interelasi (dilakukan dua orang atau lebih) dan bisa berbahaya, baik diri sendiri maupun orang lain. Menurut ulama lain, al-dharar dan al-dhirar seperti bentuk al-qatal dan al¬qital, adalah memadaratkan orang lain yang tidak memadaratkan kita, sedangkan al-dhirar adalah memadaratkan orang lain yang memadaratkan kita dengan cara yang tidak disyari’atkan, seperti harus mitsli (seimbang) dan dalam rangka menegakkan kebenaran. Kedua, dlarar dan dlirar menggunakan isim nakirah, dikala kedua isim nakirah itu bertemu dengan huruf nafi (la) yang berfungsi menafikan segala jenis sesuatu (dalam hal ini menafikan semua jenis dlarar), maka makna yang dikandung oleh hasil penggabungan keduanya berarti mengharuskan ketiadaan bahaya dalam segala bentuk. Pada titik fokus inilah para fuqaha’ kemudian merumuskan keharaman berbuat dlarar, yang pada akirnya menjadi pondasi terbangunya formulasi kaidah al-dlararu yuzallu.
Secara etimologi, kata dlarar adalah antonim dari manfaat (khilaf al-naf’i). Secara terminologi, mengutip paparan Fakhr al-din al-Razi, dlarar adalah sebuah perasaan sakit atau tidak nyaman yang terbesit dalam hati. Disebut perasaan sakit karena apabila menimpa diri kita maka hati akan merasa sakit, dan disebut tidak enak karena baik fsik atau psikis (jiwa) akan merasakan ketidaknyamanan saat ditimpa bahaya tersebut.
Demikian pembahasan yang telah diuraikan tentang kaidah fiqh al-dlararu yuzallu, semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Haq, Abdul. 2006. Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya : Khalista.
Rohyana, Ade Dedi. 2008. Ilmu Qawaid Fiqhiyah. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Azis Muhammad Azzam. 2009. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta : Amzah.
HADIST-HADIST EKONOMI TENTANG NILAI DASAR EKONOMI
HADIST TENTANG NILAI DASAR EKONOMI
1. Hadist tentang kepemilikan
Kepemilikan (ownership) dalam ekonomi Islam adalah :
a. Kepemilikan terletak pada manfaatnya bukan penguasaan secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi.
b. Kepemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia, dan bila kita meninggal dunia, harus didistribusikan kepada ahli waris menurut ketentuan Islam.
c. Kepemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
2472- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خِرَاشِ بْنِ حَوْشَبٍ الشَّيْبَانِيُّ، عَنِ الْعَوَّامِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْمَاءِ، وَالْكَلَإِ، وَالنَّارِ، وَثَمَنُهُ حَرَامٌ " قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: «يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِيَ»
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram." Abu Sa'id berkata, "Yang dimaksud adalah air yang mengalir." (HR. Ibnu Majah)
3477 - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ اللُّؤْلُؤِيُّ، أَخْبَرَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ، عَنْ حِبَّانَ بْنِ زَيْدٍ الشَّرْعَبِيِّ، عَنْ رَجُلٍ، مِنْ قَرْنٍ ح وحَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو خِدَاشٍ، وَهَذَا لَفْظُ عَلِيٍّ، عَنْ رَجُلٍ، مِنَ الْمُهَاجِرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا أَسْمَعُهُ، يَقُولُ: " الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ "
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al Lu`lui telah mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid Asy Syar'i dari seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman telah menceritakan kepada kami Abu Khidasy dan ini adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah berperang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiga kali, aku mendengar beliau bersabda: "Orang-orang Muslim bersekutu dalam hal rumput, air dan api." (HR. Abu Daud)
Penjelasan:
Kepemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi setiap orang atau badan dituntut kemampuannya untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut. Lama kepemilikan manusia atas sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia tersebut hidup di dunia. Sumber daya yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum. Hal ini berdasarkan Hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ahmad & Abu daud yang mengatakan : “Semua orang berserikat mengenai tiga hal yaitu air (termasuk garam), rumput dan api” Sumber alam ini dapat dikiaskan (sekarang) dengan minyak dan gas bumi, barang tambang dan kebutuhan pokok manusia lainnya.
2. Hadits Tentang Keseimbangan
Keseimbangan yang terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi sikap pemborosan. Keseimbangan (equilibrium) terlihat pengaruhnya pada tingkah laku ekonomi muslim, misalnya kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimony), dan menjauhi pemborosan (extravagance). Konsep keseimbangan ini tidak semata diarahkan pada timbangan kebaikan dunia akhirat saja tapi juga berkaitan dengan keseimbangan atas kepentingan perorangan dan kepentingan umum. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Bab 56: Keutamaan Lapar dan Kesederhanaan dalam Hidup, Baik Berupa Makanan, Minuman, Pakaian, Maupun Hal yang Lain.
(14/524). Asma’ binti Yazid RA berkata:
كَانَ كُمُّ قَمِيصِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الرُّصْغِ . رواه أَبو داود والترمذي ، وقال : حديث حسن
Artinya: “Lengan baju Rasulullah SAW panjangnya sampai pergelangan tangan”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan).
Penjelasan: Hadist di atas menjelaskan bahwasanya bentuk kesederhanaan yang di terapkan oleh Rasulullah adalah dicontohkan dari segi pakaian. Dalam berpakaian , lengan baju rasulullah sampai dpergelangan tangan tidak lebih dari itu. Jikalau kita membuatnya lebih dari itu, maka bisa di anggap berlebihan, karena nanti akan menyebabkan ketidak nyamanan bagi kita yang memakainya.
Keterangan: Hadist Ini di sebut dengan Hadits dha’if , karena ada perawi yang bemama Syahar bin Husyaib. Al Hafizh berkata (dalam kitab At-Taqrib), “la orang yang jujur (Shaduq), tetapi banyak meriwayatkan hadits secara mursal(periwayatan yang disandarkan langsung kepada Nabi SAW). la juga banyak meriwayatkan dengan periwayatan yang meragukan”. Aku katakan (Al Albani), “Syahar adalah orang yang lemah riwayatnya dan buruk hafalannya.”
68. Bab: Wara’ (kesederhanaan) dan Menjauhi Syubhat
17/601. Athiyah bin Urwah Assa’di RA berkata, Rasullullah SAW bersabda,
لاَ يَبْلُغُ الْعَبدُ أنْ يَكُونَ منَ المُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأسَ بِهِ ، حَذَراً مِمَّا بِهِ بَأس
رواه الترمذي ، وقال : حديث حسن .
Artinya: “‘Seorang hamba tidak dapat mencapai tingkat taqwa yang sempurna, hingga ia meninggalkan apa-apa yang tidak dilarang karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang dilarang (diharamkan)’‘ (Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan”).
Penjelasan: ‘‘Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram juga telah jelas, dan diantara keduanya ada hal-hal yang menyerupai (meragukan), tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Jadi siapa yang berhati-hati dari syubhat maka akan terjaga agama dan kehormatannya, dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat maka akan terjerumus ke dalam yang haram“.
Keterangan: Hadits ini dha’if, karena ada perawi yang bemama Abdullah bin Yazid, ia di-dha’if-kan oleh jumhur ulama hadits. Al Hafizh berkata (di dalam At-Taqrib) “la adalah orang yang lemah dalam periwayatan hadits”. Meskipun hadits ini dha’if tetapi maknanya mempunyai dasar yang menjiwai tentang wara’ (kesederhanaan) dan menjauhi syubhat, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih:
(1846) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ، فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ، وَقَالَ: «اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ»،
Artinya: Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya kepada rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung jawabmu. (HR. muslim)
Penjelasan: Rakyat memiliki hak dan pemimpin memiliki tanggung jawab. Begitu pula sebaliknya, rakyat memiliki tanggung jawab dan pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya harus ada keseimbangan dan kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang lain. Akan tetapi kekuasaan sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena hakekat kepemimpinan hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang pemimpin. Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka kekuasaan kembali berada di tangan rakyat.
Oleh sebab itu, mengingat kesetaraan posisi rakyat dan pemimpin ini, maka masing-masing memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya, akan tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-hak rakyatnya secara bebas.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, mungkin kita sudah mengenal konsep hak azazi manusia (ham). Oleh sebab itu, bila kita tarik hadis di atas dalam kontek saat ini, maka sebenarnya nabi muhammad s.a.w jauh sebelumnya sudah mengajarkan prinsip-prinsip ham dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak, dari hadis di atas dapat kita gali sebuah pesan bahwa islam menjamin ham termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob). Karena itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu telah keluar dari sunnah rasul s.a.w.
892. Bersikap ekonomis membawa berkah
كيلواطعامكم يبارك لكم فيه (رواه مسلم)
Artinya: Takarlah makanan kalian (berhematlah kalian), niscaya makanan kalian akan di berkahi. (HR.MUSLIM)
Penjelasan: Hadist ini menganjurkan kepada kita agar menakar makanan pokok menurut perhitungan yang berlaku karena sesungguhnya bersikap ekonomis itu merupakan sebagian dari kehidupan,dan akan membawa kepada keberkahan.
423. Berlebihan dalam makan dan minum
اياكم ولبطنةفي طعا م والشراب فئنها مفسدةللجسم تورث السقم عن الصلاة وعليىكم بلقصد فئهما فاءنه اصله للجسد وابعد من السرف (رواه البخا ري)
Artinya: Janganlah sekali-kali kalian makan dan minum terlalu kenyang, karena sesungguhnya hal tersebut merusak tubuh, dan dapat menyebabkan malas mengerjakan shalat, dan pertengahanlah kalian dalam kedua hal tersebut, karena sesungguhnya hal ini lebih baik bagi tubuh, dan jauhkan diri dari berlebih-lebihan (israf). (HR. BUKHARI)
Penjelasan: Al-Bithnah, diartikan makan dan minum melebihi sekenyang perut. As Saqam makna asalnya ialah sakit, tetapi makna yang di maksud dalam hadist ini ialah malas mengerjakan shalat. Makan melebihi sekenyang perut dilarang oleh agama karena dapat mengakibatkan tubuh orang yang bersangkutan menjadi rusak dan malas untuk mengerjakan shalat.
3. Hadist tentang keadilan
Keadilan di dalam Al Qur’an, disebutkan lebih dari seribu kali, setelah perkataan Allah dan Ilmu pengetahuan. Nilai keadilan sangat penting dalam ajaran Islam, terutama dalam kehidupan hukum Sosial, Politik dan Ekonomi. Untuk itu keadilan harus di terapkan dalam kehidupan Ekonomi seperti : proses distribusi, produksi, konsumsi dan lain sebagainya. Keadilan juga harus diwujudkan dalam mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui zakat, infaq dan hibah. Keadilan (justice) berkaitan dengan perilaku ekonomi umat manusia mengandung pengertian sebagai berikut :
a) Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak Islam.
b) Keadilan harus ditetapkan disemua fase kegiatan ekonomi.
55 - (2577) حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ بَهْرَامَ الدَّارِمِيُّ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ الدِّمَشْقِيَّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا رَوَى عَنِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ: «يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا، (رواه مسلم)
Artinya: Menceritakan Abdullah ibnu abdi rahman ibnu bahrama dharami,menceritakan marwan ya’ni ibnu muhammad damasqi,menceritakan said bin abdul aziz dari Rabi’a ibnu yazid,dari abi idris haulani, dari Rasulullah SAW yang meriwayatkan dari Allah tabaaraka ta’ala , Ia berkata: “ Wahai hambaku ,sesungguhnya saya mengharamkan dzalim kepada diri saya sendiri dan saya menjadikan di antara kalian keharaman,maka janganlah kalian saling mendzalimi”.(HR.MUSLIM)
Penjelasan: Hadist di atas menyuruh kita untuk tidak saling mendzalimi antara yang satu dengan yang lainnya,karena haram merupakan perbuata yang sangat di haramkan oleh Allah SWT.
Keterangan:
Hadist ini termasuk hadist shahih karena perawinya marfu’ kepada Nabi mulai rawi pertama hingga perawi terakhir.
Langganan:
Postingan (Atom)