Minggu, 13 Januari 2013
IJMA'
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepeninggal Rasulullah SAW, permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam bermacam-macam dan kompleks sekali, sedangkan sumber hukum berupa Al-Quran maupun Al-Hadits yang berfungsi sebagai solusi segala permasalahan sudah berhenti sepeninggal Rsulullah Saw. Sebenarnya semua permasalahan itu sudah ada penyelesaian problemnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits, akan tetapi ada yang secara tekstual dan langsung tercantum dan tidak secara tekstual tercantum, sehingga membutuhkan kecakapan di dalam memahami Al-Quran. Para ulama bersepakat untuk mncari sumber hukum yang baru akan tetapi dasar hukum dan batasan-batasannya tetap pada Al-Quran dan Al-Hadits. Salah satu contohnya Ijma’.
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Ijma’ dan berbagai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi Ijma’ ?
2. Apa dasar hukum Ijma’ ?
3. Apa saja rukun-rukun Ijma’ ?
4. Bagaimana kemungkinan terjadinya Ijma’ ?
5. Apa saja macam-macam Ijma’ ?
6. Bagaimana Permasalahan Ijma’ di zaman kontemporer?
BAB II
LANDASAN TEORI
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang ( ) yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.
Menurut Al-Amidi, ijma’ secara bahasa yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Secara terminologi, ada sejumah rumusan ijma’ dikemukakan pra ahli ushul fiqh. Imam al-Ghazali dalam bukunya Al- Mustasshfa fi ‘ilm Ushul menjelaskan ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama. Dalam definisi ini, al-Ghazali menetapkan ijma’sebagai kesepakatan seluruh umat Muhammad atau umat Islam, bukan hanya khusus para ulama, tetapi termasuk masyarakat umum(awam). Pendapat al-Ghazali ini tampaknya mengikuti pendapat imam Syafi’i yang mensyaratkan ijma’ sebagai kesepakatan umat. Dalam definisi ini al-Ghazali tidak mensyaratkan ijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Alasan yang dikemukakan al-Ghazali karena pada masa Nabi Muhammad SAW, Ijma’ tidak diperlukan mengingat keberadaan Nabi SAW, sebagai Syari’ (pembuat dan penemu hukum) tidak membutuhkan ijma’.
Sementara Al-Amidi mendefinisikan ijma’ dengan dua versi. Definisi ijma’ yang pertama hampir mirip dengan definisi yang dikemukankan al-Ghazali, yaitu sebagai kesepakatan seluruh umat islam karena pendapat yang dapat terhindar dari kesalahan apabila disepakati selurh umat Islam. Sementara Definisi ijma’ kedua yang dikemukakan adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halil wal ‘Aqd (para ahli Yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus. Melalui definisi ini Al-Amidi tidak memasukkan orang awam sebagai bagian penentu keberadaan ijma’.
Sementara menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ yaitu kesepakatan para Imam Mujtahid diantara umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau suatu kejadian.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi Ijma’
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang ( ) yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.
Menurut Al-Amidi, ijma’ secara bahasa yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ dalam pengertian ini sejalan dengan firman Allah surat Yunus, 10:71:
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)...
Menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ yaitu kesepakatan para Imam Mujtahid diantara umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau suatu kejadian. Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur.
1. Kebulatan dapat terwujud, apabila pendapat seseorang sama dengan pendapat orang-orang lainnya.
2. Apabila ada yang tidak menyetujui maka tidak ada ijma’, karena hanya pendapat golongan terbanyak bisa menjadi hujjah.
3. Kalau pada sesuatu masa hanya terdapat seorang ahli ijtihad, maka tidak ada ijma’. Pendapat perseorangan tidak jauh dari kemungkinan kesalahan.
4. Kebulatan pendapat orang-orang biasa tidak disebut ijma’. Dipersamakan dengan mereka orang-orang yang lapangannya bukan penyelidikan hukum-hukum syara’.
3.2 Dasar Hukum Ijma’
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisa': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c. Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.3 Rukun-rukun Ijma’
Dalam definisi diatas dijelaskan bahwa sepakat semua mujtahid Muslim pada suatu masa terhadap hukum syar’i. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa rukun Ijma’ itu ada empat.
1. Pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
2. Sepakat atas hukum syar’i tentang suatu peristiwa.
3. Ada kesepakatan itu dimulai. Tiap-tiap mereka mengeluarkan pendapat terang-terangan tentang suatu peristiwa.
4. Menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum.
3.4 Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Ulama’ ushul fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan tentang kemungkinan terjadi Ijma’ ulama’. Menurut al-Nazzam, sebagian pengikut Syiah dan sebagian penganut paham Mu’tazilah menyatakan bahwa ijma’ dengan rukun-rukunnya tidak mungkin terjadi. Semantara jumhur ulama’menilai mungkin terjadi secara adat.
Mereka yang menolak kemungkinan terjadi Ijma’mengemukakan tiga alasan.
1. Mustahil terjadi kesepakat mujtahid, seperti mustahilnya pada saat yang sama terjadi kesepakatan mereka untuk makan dengan satu jenis makanan dan berbicara dengan kalimatyang sama.
2. Tersebarnya para mujtahid di berbagai penjuru dunia sehingga sulit untuk menyampaikan hukum yang akan disepakati.
3. Kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum adakalanya didasarkan kepada dalil qath’i yang tidak membutuhkan ta’wil atau adakalanya didasarkan pada dalil zanni.
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
1. Periode Rasulullah SAW;
2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
3. Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur`an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma’ itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijma` tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW,
2. Ijma` mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman dan setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang. Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisa’ atau sebagai ahlul halli wal `aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
3.5 Macam-macam Ijma’
Ijma’ umat tersebut dibagi dua:
1. Ijma’ qauli yaitu suatu ijma’dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik secara lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ bayani atau ijma’ qath’i.
2. Ijma’ sukuti yaitu ijma’ dimana para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja terhadap ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yag hidup dimasanya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ ittibari. Dan dapat dikatakan sah apabila.
1. Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan.
2. Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan dipandang cukup untuk mrngemukakan pendapatnya.
3. Permasalahan yang difatwaka oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihati yang bersumber dalil-dalil yang bersifat zhanni.
Keabsahan Ijma’ sukuti
Menurut pengikut Maliki dan Imam Syafi’i bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Misalkan tidak melakukan ijtihad pada suatu masalah atau takut mengemukakan pendapat, sehingga tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau zhanni. Jika demikian tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal, menyataan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujah yang qath’i. Alasannya adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat atau tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan sebagian mjtahid lainnya.
Al- Kurhi dari golongan Hanafi dan al Amidi dari golongan Syafi’iyah menyatakan bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah yang bersifat zhanni.
Disamping itu ijma’ umat tersebut, masih ada macam-macam ijma’ yang lain, yaitu:
3. Ijma’ sahabat.
4. Ijma’ khalifah yang empat.
5. Ijma’ Abu Bakar dan Umar.
6. Ijma’ ulama’ Madinah adalah
7. Ijma’ ulama’ Kufah dan Basrah.
8. Ijma’itrah (ahli bait =golongan Syiah).
3.6 Permasalahan Ijma’ Di Zaman Kontemporer
Untuk menuju sebuah ijtihad, problem yang muncul pada masa kini adalah
keterbatasan para cendekiawan Islam kontemporer dalam penguasaan berbagai cabang keilmuan baik keislaman maupun keduniawian yang terkait dengan masalah baru yang muncul tersebut yang kemudian menimbulkan skeptisisme sebagian kalangan akan kemungkinan terjadinya ijtihad yang profesional dan proporsional
Problematika kontemporer yang variatif dan cukup komplikatif yang disebabkan oleh perkembangan gaya hidup manusia yang disebabkan
Banyaknya terjadi perselisihan dan kontroversi. Di antara sebab-sebab terjadinya perselisihan antara umat Islam adalah banyaknya perbedaan fatwa-fatwa individu. Hal ini membuat kesulitan bagi umat Islam untuk memilih di antara fatwa-fatwa yang berkembang.
Merupakan satu keniscayaan ketika hendak menetapkan hukum terhadap satu masalah kontemporer untuk melihat hakekat permasalahannya, tidak silau dengan nama-nama atau pun istilahnya. Karena hukum syara’ hanya berhubungan dengan hakekat dan pengertian, bukan dengan lafadz dan susunan kata. Sebagian contoh dari ijpermasalahan ijma’di zaman kontemporer.
Menurut Syaltut bahwa mengkonsumsi narkoba haram hukumnya. Keharaman narkoba diqiyaskan dengan keharaman minum khamer. Dia berpendapat illat keharaman khamer itu adalah karena merugikan orang yang meminumnya baik secara mental, fisik, spiritual, ekonomi, bahkan sosial. Unsur-unsur perusak yang terdapat dalam khamer terdapat pula dalam narkoba. Karena adanya kesamaan illat inilah yang menjadikan narkoba haram hukumnya.
Pendapat ini kalau dikaitkan dengan prinsip ijtihad tampaknya Syaltut menggunakan metode qiyas, dengan mengambil persamaan illat hukum dari khamer yang sudah jelas hukumnya dengan narkoba yang merupakan masalah kontemporer yang tidak disebutkan hukumnya dalam al-Qur’an.
Mahmud Syaltut berpendapat bahwa bersalaman dengan perempuan tidak menyebabkan batalnya wudlu. Pendapat ini dikemukakan berkaitan dengan pengertian (Lamastumun Nisa) dalam surat al-Maidah ayat 6. Di antara argumentasi yang dikemukakan Syaltut berdasarkan hadits-hadits yang menunjukkan tidak batalnya wudlu ketika tangan laki-laki dan perempuan bersentuhan. Selain itu tiadanya kebutuhan wudlu saat bersentuhan tangan dengan perempuan merupakan kemudahan (rukshoh) yang diajarkan oleh syariat.
Dalam hal ini Syaltut memperluas pemahaman tentang makna “Lamastumunnisa” tidak hanya bermakna menyentuh, namun berhubungan seksual dengan lawan jenis. Pendapat ini dikokohkan Syaltut dengan dasar hadits yang berbicara tentang hal tersebut. Berdasarkan metode ijtihad yang Syaltut gunakan dalam hal ini peran memiliki porsi yang kuat dalam menjelaskan makna ayat al-Qur’an.
BAB IV
KESIMPULAN
Menurut istilah Ahli Ushul, Ijma’ yaitu kesepakatan para Imam Mujtahid diantara umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau suatu kejadian.
Rukun-rukun Ijma’ :
1. Pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
2. Sepakat atas hukum syar’i tentang suatu peristiwa.
3. Ada kesepakatan itu dimulai. Tiap-tiap mereka mengeluarkan pendapat terang-terangan tentang suatu peristiwa.
4. Menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum.
Demikian penjelasan dari makalah penulis, semoga apa yang telah diuraikan diatas dapat memberikan manfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie, A. 1998. Ushul Fiqh. Jakarta : Widjaya. Hasan, Ali M.1996. Perbandingan Madzhab. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hasan, M Ali. 1996. Perbandingan Madzhab. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Http://sitibaizurah.multiply.com/journal/item/55.
Khallaf, Abdul Wahab. 1993. Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Syaltut, Mahmud. 1972. Al-Fatawa, Beirut: Dar asy-Syuruq.
Syam, A. Slamet Ibnu. 2010. Refleksi Atas Komplesitas Problematika & Keterbatasan Pr Cendekiawan Islam Kontemporer diakses tanggal 23 September dari http://moslemz.multiply.com/journal/item/100.
Syarifudin, Amir. 2004. Ushul Fiqh, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta : Zikrul Hakim.
_. 2010. Konsep pengertian Ijma’ diakses tanggal 23 September 2010 dari Http://makalah- gratis.blogspot.com/2007/09/ijma-ushul-fiqh.html.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar