Minggu, 13 Januari 2013
KAIDAH AL-DHARRU YUZALLU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa bahaya atau kesusahan. Pembawaan alamiah ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatis dan praktis, selalu berupaya merengguh kebahagiaan dan berupaya menghindari bahaya-bahaya di dalam kehidupannya. Upaya yang demikian adalah wujudan sifat manusiawi setiap orang. Dan Islam tidak menampik realitas semacam ini, melainkan mengadopsinya dalam bingkai-bingkai hukum yang apresiatif dan akomodatif. Sebagai bukti adalah makna yang terangkum dalam konsep salah satu kaidah fiqh yang secara eksplisit memotivasi untuk membuang jauh-jauh semua bahaya baik bahaya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain yakni kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan).
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) dan berbagai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengetian kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) ?
2. Apa landasan dasar hukum kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) ?
3. Apa cakupan kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) ?
4. Apa saja sub kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan) ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Konsepsi dari kaidah al-dlararu yuzallu (kemadharatn harus dihilangkan) ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti) baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
2.2 Landasan Kaidah
Dasar kaidah ini diambil dari hadits riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa’, al-Hakim dalam al-Mustadrak, Ibn Majah dan al-Bayhaqi. Yakni ( Jangan membahayakan diri dan orang lain).
Bila ditinjau dari bahasa, hadits ini memiliki banyak makna, pertama. Kata dlarar (tanpa alif) bermakna perbuatan yng dilakukan seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri, dan dhilar (dengan memakai alif) bermakna perbuatan yang bersifat interelasi (dilakukan dua orang atau lebih) dan bisa berbahaya, baik diri sendiri maupun orang lain. Menurut ulama lain, al-dharar dan al-dhirar seperti bentuk al-qatal dan al¬qital, adalah memadaratkan orang lain yang tidak memadaratkan kita, sedangkan al-dhirar adalah memadaratkan orang lain yang memadaratkan kita dengan cara yang tidak disyari’atkan, seperti harus mitsli (seimbang) dan dalam rangka menegakkan kebenaran. Kedua, dlarar dan dlirar menggunakan isim nakirah, dikala kedua isim nakirah itu bertemu dengan huruf nafi (la) yang berfungsi menafikan segala jenis sesuatu (dalam hal ini menafikan semua jenis dlarar), maka makna yang dikandung oleh hasil penggabungan keduanya berarti mengharuskan ketiadaan bahaya dalam segala bentuk. Pada titik fokus inilah para fuqaha’ kemudian merumuskan keharaman berbuat dlarar, yang pada akirnya menjadi pondasi terbangunya formulasi kaidah al-dlararu yuzallu.
Secara etimologi, kata dlarar adalah antonim dari manfaat (khilaf al-naf’i). Secara terminologi, mengutip paparan Fakhr al-din al-Razi, dlarar adalah sebuah perasaan sakit atau tidak nyaman yang terbesit dalam hati. Disebut perasaan sakit karena apabila menimpa diri kita maka hati akan merasa sakit, dan disebut tidak enak karena baik fsik atau psikis (jiwa) akan merasakan ketidaknyamanan saat ditimpa bahaya tersebut.
2.3 Cakupan Kaidah
Inti dari kaidah ini hanya menegaskan soal kewajiban menghilangkan dlarar setelah ia menimpa kita. Artinya permasalahan furu’iyyah yang termuat di dalamnya adalah persoalan dimana dlarar-nya yang sudah terjadi dan harus segera dihilangkan. Sementara untuk dlarar yang beum terjadi, maka furu’iyyah-nya termuat dalam sub-kaidah al-dlarar yudfa’u bi qadr al-imkam. Beberapa permasalahan yang dirangkum kaidah ini, antara lain:
1. Diperbolehkannya mengembalikan barang yang sudah dibeli yang di dalamnya terdapat kerusakan. Sebab bila tidak boleh dikembalikan maka si pembeli akan rugi. Apabila barang yang sudah dibeli itu tidak boleh dikembalikan dalam keadaan apapun(rusak), hal ini jelas mengabaikan dan membiarkan terjadinya dlarar pada pembeli. Padahal al-dlarar harus yuzallu.
2. Dibelakukannya khiyar (hak untuk memilih) dalam hukum muamalah. Semuanya merupakan upaya preventif syariah agar antara penjual dan pembeli tidak mendapat kerugian disaat, di dalam, atau sesudah proses transaksi. Sebab dalam Islam, kerugian adalah salah satu bentuk mudharat yang harus dihilangkan.
3. Pemberlakuan faskh al-nikah (gugatan cerai di depan hakim) yang dilakukan seorang isteri kepada suaminya yang mempunyai cacat. Sebab bila ia terus bertahan menerima keadaan suami, maka ia pasti mendapatkan kesulitan-kesulitan yang belum tentu mampu ditanggung.
4. Al-hijr (pembatasa wewenang dalam men-tasharruf-kan hak milik), mempunyai banyak faktor yang melatar belakanginya, diantaranya si pemilik masih kanak-kanak, gila, sembrono. Mekanisme al-hijr yang diterapkan pada mereka untuk memelihara kemaslahatan mereka sendiri dan menghindari bahaya pengeksploitasian mereka serta diberlakukan bagi orang yang terlilit banyak hutang, sebab hal itu melindungi hak orang-orang yang berpiutang. Disini orang-orang yang berutang dilarang membelajakan hartanya agar hak orang lain tidak hilang.
5. Syuf”ah (hak membeli pertama), ditetapkan sebagai milik partner kongsian untuk menepis bahaya pembagian barang kongsian, sedangkan hak syuf’ah bagi seorang tetangga dimaksudkan untuk menepis bahaya perlakuan buruk bertetangga yang mungkin ia terima dari tetangga baru yang dapat jadi berkelakuan buruk.
6. Qishash dalam konteks jiwa dan hudud disyariatkan untuk menepis bahaya yang menyeluruh dari masyarakat dan memelihara kelima prinsip umum yaitu jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta.
2.4 Sub Kaidah (AL-QAWA’ID AL-MUNDARIJAH)
Diantara sub kaidah yang memiliki esensi senada dengan al-dlarar yuzallu adalah:
1. (bahaya harus ditolak semampu mungkin)
Secara substantif, kaidah ini menandakan bahwa segala macam bahaya, jika memungkinkan harus ditangkal secara total, tetapi bila tidak bisa, maka cukup ditolak semampunya saja, sesuai kadar yang dimiliki. Ketentuan ini berdasarkan konsep dasar fiqh, bahwa setiap taklif syariat harus disesuaikan dengan kadar kemampuan mukallaf untuk melaksanaknnya,firman Allah dala surat al-Baqarah, 286.
“Allah tidak membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya”
Contohnya pemberlakuan jihad sebagai benteng pertahanan agama bertujuan untuk mencegah bahaya yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam, jika pasukan musuh sudah memasuki kawasan Islam, maka seluruh umat Islam diwajibkan berperang mempertahankan agamanya sekuat tenaganya.
2. (kondisi dlarurah akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang)
Banyak sekali cakupan permasalahan dalam kaidah ini kecuali kufur, membunuh, berzina. Ketiga jenis perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun, ermasuk kondisi dlarurat.
Sebagian diantara contohnya yaitu membuka aurat di depan dokter saat proses pengobatan. Dalam permasalahan ini, membuka aurat yang pada asalnya diharamkan menjadi diperbolehkan mengingat kondisi sakit yang memang mengharuskan aurat itu dibuka. Namun tentu sesuai dengan kadar kebutuhan saat pengobatan saja.
3. (sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat harus disesuaikan dengan kadar dlaruratnya)
Sesuatu yang asalnya dilarang kemudian diperbolehkan karena keadaan terpaksa, tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya, melainkan harus disesuaikan dengan kadar dlarurah yang diderita. Contohnya seperti seseorang yang berada dalam kondisi mendekati kematian karena kelaparan, dia bisa mendapat rukhsah, yakni diperbolehkan makan daging bangkai, yang hanya merupakan penyambung hidupnya, ia tidak boleh (haram) makan sepuas-puasnya, karena setelah nyawanya terselamatkan, maka ia sudah tidak dikategorikan sebagai mudlthar. Dengan demikian, hukum diperbolehkan makan barang haram telah hilang sebab hilangnya alasan yang memperbolehkannya.
4. (bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lain)
Menurut Abdullah bin Said Muhammad al-Lahji, yang dimaksud dlarar tidak dapat dihilangkan dengan dlarar yang lain adalah seseorang tidak boleh menghilangkan bahaya pada dirinya dengan menimbukan bahaya pada orang lain. Contoh, orang yang hampir mati kelaparan tidak diperbolehkan memakan barang milik orang lain yang juga mengalami nasib yang sama dengannya. Sebab dengan merampas hak milik orang yang yang sama-sama kelaparan, maka sama saja dengan menghilangkan bahaya diri sendiri dengan mendatangkan bahaya baru pada orang lain.
5. (mencegah bahaya lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan)
Sub kaidah ini bahwa hal-hal yang dilarang dan membahayakan lebih utama untuk ditangkal, daripada berusaha meraih kebaikan dengan mengerjakan perintah-perintah agama, sementara di sisi lain membiarkan terjadinya kerusakan. Contohnya yaitu diperbolehkannya meninggalkan shalat jumat karena faktor sakit atau takut di perjalanan menuju masjid. Shalat jumat jelas merupakan mashlahah yang mengandung pahala besar, tapi bila penyakit menjadi semakin parah maka mencegah ha-hal yang tidak diinginkan tersebut lebih diutamakan.
6. (bahaya khusus harus ditempuh untuk menolak bahaya umum)
Kaidah ini sangat erat kaitannya dengan maqashid al-syar’iyyah dalam menjaga nilai-nilai kemashlahatan umat manusia. Contohnya Diperbolehkan menonaktifkan seorang mufti yang serampangan dalam mengambil keputusan hukum demi menjaga tegaknya hukum di tengah-tengah masyarakat.
7. (keadaaan darurat tidak membatalkan hak orang lain)
Jika dihubungkan dengan hak milik orang lain keadaan dharurat tidak sampai menggugurkan hak yang sudah seharusnya menjadi milik orang lain. Contohnya seseorang yang dalam keadaan dharurat memakan makanan orang lain harus membayar harga nominal makanan yang telah ia konsumsi. Dalam keadaan dharurat (mudlthar), seseorang memang diperbolehkan memakan makanan orang lain. Namun bukan berarti ia tidak diwajibkan menggantinya keadaan darurat tidak menyebabkan seorang (mudlthar) lepas dari tanggungjawab memberi ganti rugi pada hak milik orang lain.
8. (kebutuhan terkadang disetarakan dengan kondisi dlarurah, baik kebutuhan umun maupun khusus)
Hajah dalam kondisi tertentu dapat menjadikan hal-hal yang pada mulanya dilarang menjadi boleh dikerjakan. Contohnya memandang lawan jenis yang bukan mahram (terutama pria dan wanita) hukumnya adalah haram. Namun jika unsur melihat karena didorong faktor kebutuhan seperti jual-beli, sewa-menyewa, atau transaksi-transaksi lainnya, maka hukumnya menjadi mubah, meskipun hanya sebatas wajah.
BAB III
KESIMPULAN
Bila ditinjau dari bahasa, hadits ini memiliki banyak makna, pertama. Kata dlarar (tanpa alif) bermakna perbuatan yng dilakukan seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri, dan dhilar (dengan memakai alif) bermakna perbuatan yang bersifat interelasi (dilakukan dua orang atau lebih) dan bisa berbahaya, baik diri sendiri maupun orang lain. Menurut ulama lain, al-dharar dan al-dhirar seperti bentuk al-qatal dan al¬qital, adalah memadaratkan orang lain yang tidak memadaratkan kita, sedangkan al-dhirar adalah memadaratkan orang lain yang memadaratkan kita dengan cara yang tidak disyari’atkan, seperti harus mitsli (seimbang) dan dalam rangka menegakkan kebenaran. Kedua, dlarar dan dlirar menggunakan isim nakirah, dikala kedua isim nakirah itu bertemu dengan huruf nafi (la) yang berfungsi menafikan segala jenis sesuatu (dalam hal ini menafikan semua jenis dlarar), maka makna yang dikandung oleh hasil penggabungan keduanya berarti mengharuskan ketiadaan bahaya dalam segala bentuk. Pada titik fokus inilah para fuqaha’ kemudian merumuskan keharaman berbuat dlarar, yang pada akirnya menjadi pondasi terbangunya formulasi kaidah al-dlararu yuzallu.
Secara etimologi, kata dlarar adalah antonim dari manfaat (khilaf al-naf’i). Secara terminologi, mengutip paparan Fakhr al-din al-Razi, dlarar adalah sebuah perasaan sakit atau tidak nyaman yang terbesit dalam hati. Disebut perasaan sakit karena apabila menimpa diri kita maka hati akan merasa sakit, dan disebut tidak enak karena baik fsik atau psikis (jiwa) akan merasakan ketidaknyamanan saat ditimpa bahaya tersebut.
Demikian pembahasan yang telah diuraikan tentang kaidah fiqh al-dlararu yuzallu, semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Haq, Abdul. 2006. Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya : Khalista.
Rohyana, Ade Dedi. 2008. Ilmu Qawaid Fiqhiyah. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Azis Muhammad Azzam. 2009. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta : Amzah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar