ayat-ayat ekonomi
1.Pengertian Bank dan Rente
Bank menurut Undang-undarig Pokok Perbankan tahun 1967 adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang. Dari batasan tersebut jelas, bahwa usaha bank akan selalu
dikaitkan dengan masalah uang.
Di dalam Ensikiopedi Indonesia disebutkan bahwa Bank (perbankan) ialah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Selain dari itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral. Jadi kegiatannya bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.
Rente adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang lebih dikenal dengan istilah bunga. Oleh Fuad Muhammad Fachruddin disebutkan bahwa rente ialah keuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjarnkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang
meminjam. Berkat bantuan bank yang meminjarnkan uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga bertambah banyak.
Menurut Fuad Fachruddin, bahwa rente yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya. Sebab, pembayarannya lebih dari uang yang dipinjarnkannya. Sedang uang yang lebih dari itu adalah riba, dan riba itu haram hukumnya. Kemudian dilihat dari segi lain, bahwa bank itu hanya tahu menerima untung, tanpa risiko apa-apa. Bank meminjarnkan uang, kemudian rentenya dipungut, sedang rente itu semata-mata menjadi keuntungan bank yang
sudah ditetapkan keuntungannya. Pihak bank tidak mau tahu apakah orang yang meminjam uang itu rugi atau untung.
Di dalam Islam dikenal ada doktrin tentang riba dan mengharamkannya. Islam tidak mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga terjadi perbedaan pendapat. Beda pandangan dalam menilai persoalan ini akan berakibat timbul kesimpulan-kesimpulan hukum yang berbeda pula, dalam hal boleh tidaknya serta halal haramnya.
2. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.
SEBAHAGIAN ulama fiqh berpendapat bahwa dasar hukum dibenarkannya transaksi money changer atau penjualan mata uang adalah; berdasar pada hadits Nabi saw : “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) sama (kualitas dan kuantitasnya) dan (dilakukan) secara tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan syarat secara tunai”. (H.R. Jama`ah ahli hadits kecuali Bukhari, dari Ubadah bin Samit). Sedangkan dalam hadits riwayat Ibnu Umar : “Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas dan perak dengan perak, kecuali sejenis, dan jangan pula kamu memperjual belikan perak dengan emas yang salah satunya gaib (tidak ada di tempat) dan yang lainnya ada”. (H.R. Jama`ah).
Hadits yang pertama menekankan bahwa syarat pertukaran mata uang yang jenisnya sama adalah kualitas dan kuantitasnya sama serta dilakukan secara tunai. Sedangkan hadits yang kedua juga demikian, bahkan di dalamnya terdapat keterangan tambahan, bahwa pertukaran mata uang harus dilakukan secara tunai (objek yang dipertukarkan atau yang diperjual belikan harus ada di tempat jual beli). Kemudian dalam riwayat Abu Sa’id al Khudri lebih ditekankan bahwa apabila nilai tukar yang diperjual belikan itu dalam jenis yang sama, maka tidak boleh ada penambahan pada salah satu jenisnya. (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal). Dalam hubungan ini, semua mata uang di setiap negara adalah jenis mata uang tersendiri maka money changer rentan terhadap transaksi riba fadhal. Oleh sebab itu para ulama fiqh memberikan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
Pertama, nilai tukar yang diperjual belikan harus dapat dikuasai langsung, baik oleh pembeli maupun oleh penjual, sebelum keduanya berpisah badan. Penguasaan ini bisa berbentuk penguasaan secara material dan hukum. Penguasaan secara material, misalnya pembeli langsung menerima dolar AS yang dibeli dan penjual langsung menerima uang rupiah. Penguasaan secara hukum, misalnya pembayaran melalui cek. Menurut ulama fiqh, syarat ini diperlukan untuk menghindari terjadinya riba an nasi’ah (penambahan pada salah satu alat tukar). Apabila keduanya berpisah sebelum menguasai masing-masing nilai tukar yang diperjual belikan, maka menurut ulama fiqh aqadnya menjadi batal karena syarat penguasaan terhadap nilai tukar tidak terpenuhi. Berpisah badan dalam hal ini harus benar-benar berpisah sebagaimana layaknya perpisahan antara seorang yang pergi dan yang tinggal. Apabila perpisahan itu dilakukan dengan pulang bersama, menurut ulama fiqh, perpisahan itu belum dianggap sempurna karena masih memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan serah terima langsung dalam kasus ini adalah perpindahan dari tangan ke tangan, dan sifatnya masih mutlak menurut syariat. Bagaimanapun yang diistilahkan oleh masyarakat sebagai serah terima langsung, maka itu dapat dijadikan acuan dan sahnya perjanjian didasari oleh serah terima tersebut. Transfer dalam rekening bank bisa dikategorikan sebagai serah terima langsung. Seorang nasabah datang ke bank dan memberikan kepadanya mata uang asing untuk ditransfer, kemudian pihak bank memulai proses pengiriman dan memasukan ke dalam rekeningnya, sistem kerja ini diangap sah. Tidak disyaratkan pihak nasabah harus memegang dengan tangannya sendiri terlebih dahulu, baru dimasukan ke dalam rekeningnya. Memegang cek yang bisa dicairkan secara langsung, dikategorikan juga sebagai serah terima langsung, bisa diposisikan seperti serah terima uang kontan yang diwakilkan olek cek tersebut. Atas dasar inilah para ulama ahli fatwa mensahkan transfer ke negeri asing (dalam bentuk cek), dan itu tidak digolongkan sebagai penukaran mata uang dengan penangguhan serah terima.
Kedua, apabila mata uang yang diperjual belikan itu dari jenis yang sama, maka harus dalam kualitas yang sama, sekalipun modelnya berbeda. Mata uang yang ditukar jenisnya sama, maka harus sama nilainya (tidak boleh ada perbedaan nilai) dan harus diserah terimakan secara langsung (tidak boleh ditangguhkan serah terimanya). Pada kaitan ini, jika mata uang yang diperjual belikan jenisnya berbeda, maka harus diserah terimakan secara langsung. Dan diharamkan menangguhkan penyerahan salah satu dari uang yang ditukar, namun tidak diharamkan bila dilebihkan nilainya Misalnya 1 dolar ditukar dengan Rp. 9000,- lebih atau kurang dari itu selama dilakukan dalam satu tempat transaksi.
Ketiga, tidak berlaku hak khiar syarat, yakni hak pilih bagi pembeli apakah akan melanjutkan jual beli atau tidak, yang di syaratkan ketika berlangsungnya transaksi. Alasannya, selain untuk menghindari riba, adalah karena hak khiar membuat hukum aqad jual beli belum tuntas, sedangkan salah satu syarat jual beli dalam sharf adalah penguasaan langsung nilai tukar oleh masing-masing pihak. Oleh sebab itu, apabila salah satu pihak mengajukan syarat, maka syarat tersebut tidak sah. Berbeda halnya dengan khiar ru’yah (hak pilih bagi pembeli untuk membatalkan jual beli ketika pembeli telah melihat barang yang akan dibeli, sedangkan ketika akad berlangsung ia belum melihat barang tersebut sama sekali) dan khiar ‘aib (hak pilih bagi pembeli untuk membatalkan akad jual beli karena adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibeli). Kedua bentuk khiar yang disebut terakhir ini tidak menimbulkan hal-hal yang dilarang syarak karena tidak menghambat pemilikan dan penguasaan terhadap objek jual beli. Oleh sebab itu, apabila salah satu pihak menggunakannya, maka akad sharf tersebut tetap sah.
Keempat, tidak terdapat tenggang waktu dalam akad, karena penguasaan objek akad harus dilakukan secara tunai sebelum keduanya berpisah badan. Oleh karena itu, apabila salah satu pihak mensyaratkan tenggang waktu, maka akad ini tidak sah, hal ini berarti terjadi penangguhan pemilikan dan penguasaan objek akad sharf.
Kelima, dibolehkannya money changer hanya sebatas untuk memperlancar kegiatan transaksi barang dan jasa saja, tidak dibenarkan jual beli valuta asing (money changer) untuk kegiatan bisnis murni uang. Sebab Islam tidak mengenal jual beli uang untuk tujuan mencari keuntungan akibat perbedaan kurs antar mata uang. Jika hal tersebut terjadi maka fungsi uang bukan lagi sebagai medium of exchange for transaction dan unit of account, tetapi uang sudah menjadi capital. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kegiatan bisnis murni uang bertentangan dengan konsep uang menurut ekonomi Islam. Menurut Mustafa Ahmad az Zarqa syarat ketiga dan keempat terkait erat dengan syarat pertama. Oleh sebab itu ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh syarat penguasaan objek akad secara tunai tersebut, yaitu :
1) Ibra (pengguguran hak) dan hibah. Apabila seseorang menjual dolarnya dengan rupiah, kemudian setelah pembeli menerima dolarnya, penjual menyatakan ibra atau menghibahkan haknya (rupiah dari pembeli), maka dalam hal ini terdapat dua kemungkinan. (a) Apabila pembeli menerima ibra (pengguguran hak) atau hibah tersebut, maka gugurlah kewajibannya untuk menyerahkan rupiah sebagai alat untuk membeli dolar tersebut dan akad sharf pun menjadi batal. Karena salah satu objek sharf tidak bisa dikuasai, sehingga syarat akad sharf tidak terpenuhi. (b) Apabila pembeli tidak mau menerima ibra atau hibah tersebut, maka ibra atau hibahnya tidak sah, sedangkan hukum sharfnya tetap berlaku. Artinya, pihak pembeli wajib menyerahkan uang rupiahnya untuk membayar dolar tersebut. Namun bila penjual enggan untuk menerima haknya tersebut, ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ia harus dipaksa menerimanya.
Apabila salah satu pihak memberikan sesuatu yang melebihi kewajibannya dalam pertukaran objek sharf, maka hal itu menurut ulama fiqh tidak boleh karena merupakan riba.
3) Apabila terjadi pengalihan utang kepada orang lain, misalnya salah satu pihak menunjuk orang lain untuk menerima dan menguasai objek sharf secara langsung di majelis akad, maka menurut ulama fiqh hukumnya boleh karena penguasaan terhadap objek sharf tersebut memenuhi syarat secara sempurna.
Dalam hubungan ini, akan terjadi saling pengguguran hak atau utang (al muqasah), misalnya; seseorang menjual US $ 100 kepada pembeli dengan Rp. 220.000,-. Tetapi penjual tidak menerima uang sebesar jumlah tersebut karena ia berutang kepada pembeli dalam jumlah yang sama. Dalam kasus seperti ini, apabila keberadaan utang penjual itu terjadi sebelum akad sharf, maka menurut jumhur ulama hukumnya boleh bila disetujui oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, Zufar bin Hudail bin Qais dari golongan ulama mazhab Hanafi menyatakan tidak sah karena unsur penguasaan terhadap objek sharf tidak nyata dan tidak terpenuhi. Apabila utang terjadi setelah akad sharf, misalnya penjual menarik kembali uangnya secara paksa dan mengklaimnya sebagai utang kepada pembeli, maka menurut ulama fiqh mazhab Hanafi, seperti Imam Sarakhsi, akad sharf menjadi tidak sah karena pengguguran hak atau utang hanya berlaku bagi hak atau utang yang telah ada, bukan terhadap utang yang akan ada. Akan tetapi kebanyakan ulama fiqh membolehkan pengguguran hak atau utang dalam akad sharf seperti ini dengan cara memperbarui akad sharf, karena pada dasarnya akad sharf telah batal akibat tidak terpenuhinya objek sharf, dan pembayaran dilakukan dengan cara saling menggugurkan hak atau utang sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil kedua belah pihak. +++
3. pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang “dibisniskan” (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur’an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
1. Kesatuan (Unity)adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen,serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.
Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama,ekonomi,dan sosial demi membentuk kesatuan.Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal,membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2.Keseimbangan (Equilibrium)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis,Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8 yang artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil.Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3.Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam,tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.Kepentingan individu dibuka lebar.Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat.infak dan sedekah.
4.Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabiliats.untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan,manusia perlu mempertnaggungjawabkan tindakanya.secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas.Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5.Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran.Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat,sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi ,kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar