Senin, 07 Februari 2011

qo'idah fiqh al-iqtishad tentang "alyaqiinu laa yuzaalu bissyak"

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
QAWAID FIQH FI AL-IQTISHAD

Oleh;Faizatul Fitriyah
NIM:C04209055
Dosen Pengampu
Moh.Lathoif Ghazali. MA.

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI/AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Rasa yakin akan menggiring manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilan menggapai kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Sebaliknya, orang-orang yang tidak punya keyakinan, perjalanan hidupnya akan goyah tak tentu arah. Karenanya, keraguan yang mengganggu pikiran—sebagaimana pesan substansial kaidah kedua ini—tidak akan mampu menggoyahkan status hukum yang telah dimiliki oleh keyakinan.
Kaidah kedua menandaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak dapat dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci—dengan berwudlu misalnya—tidak akan hilang hukum kesuciannya disebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah meyakini keabsahan thaharah yang telah dilakukan.
Yang dimaksud yakin dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu obyek hukum yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau persepsi kuat (z}an). Jadi bukanlah sebuah kemantapan hati yang disertai dengan keraguan saat melaksanakan pekerjaan karena hal ini tidak termasuk kategori yakin.

RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Al-Yaqiinu Layuzalu Bissyaq itu?
2. Apa saja landasan yuridisnya?
3. Bagaimana definisi Syak dan Yaqin?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Al-Yaqil bi al-shak, dikatakan juga al-yaqi>n la yazu>l bi al-shak. Al-Yaqi>n secara bahasa adalah keyakinan. Secara sederhana ia bisa dimaknai dengan tuma’ni>nah al-qalb, ketetapan hati atas suatu kenyataan atau realitas tertentu. Sedang Ghazali memandang bahwa yakin adalah kemantapan hati untuk membenarkan sebuah obyek hukum, di mana hati juga mampu memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar.
Terminologi yakin memasukkan Z{an (praduga kuat), di mana z{an sendiri belum mencapai derajat yakin. Para fuqaha terbiasa menggunakan kata ‘ilm (tahu) dan yakin untuk menunjuk makna z{an dan sebaliknya. Dalam konteks ini al-Nawawi mencontohkan bila ada orang yang dipercaya (al-Mauthuq) memberi tahu bahwa air yang kita gunakan berwudu adalah najis, maka ‘ilm (pengetahuan) kita yang berdasar berita itu adalah yakin. Padahal sebenarnya kemampuan hati kita masih sebatas pada derajat z{an, karena kita tidak dapat melihat langsung najis yang menimpa air wudu yang telah kita gunakan.
La yuza>l atau la yazu>l berarti la yarfa’ hukmu. Al-Yaqi>n la yuza>l atau la yazu>l berarti la yarfa’ hukmuhu. Yang dimaksud “tidak hilang” adalah bukan keyakinan, melainkan hukum yang terbangun berdaar keyakinan tersebut. Hal ini berdasar pada bahwa pada dasarnya keyakinan mempunyai nilai hukum yang lebih kuat daripada keraguan. Ketika di dalam hati terbangun suatu keyakinan, maka dia tidak dapat digoyahkan oleh situasi atau kondisi apa pun. Artinya, dalam sebuah keyakinan terdapat hukum pasti yang pantang goyah oleh hal-hal yang baru, kecuali oleh keyakinan lain.

B. Definisi Syak dan Yakin
هو ما كان ثابتابالنظر أوالدليل
“Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan ancaindera atau dengan adanya dalil.”
Adapula yang mengartikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Yakin dalam konteks kaidah ini mempunyai makna yang luas. Sebab yang dimaksud yakin di sini juga memasukkan zhan (praduga kuat) di mana z}an itu sendiri belum mencapai derajat yakin. Namun para fuqaha terbiasa menggunakan kata al-‘Ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjuk makna z}an, dan sebaliknya.
Sedangkan shak secara literal biasa diartikan keraguan atau kebimbangan. Secra lebih spesifik, ahli fiqh memaknai shak sebagai keaguan dan kebimbangan akan terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya.
Al-Shak berarti al-taraddud bi al-istiwa’, keraguan atau kebimbangan. Dikatakan keraguan atau kebimbangan akan terjadinya sesuatu atau tidak. Dalam pandangan ulama ushul, shak adalah keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu. Jadi tidak ada kelebihan kemungkinan akan dua pilihan atas sesuatu tersebut. Seperti seorang yang ragu apakah dia akan jadi jaura kelas, maka porsi kemungkinan antara jadi juara kelas dan tidak jadi adalah seimbang (tidak melebihkan).
Senada dengan pernyataan di atas, Al-Nawawi menandaskan bahwa syak dalam istilah fuqaha didefinisikan sebagai keraguan antara wujud dan tidaknya sesuatu. Hal ini dapat dari penggunaan istikah syak atau ragu dalam masalah air, serta masalah-masalah lainnya, semuanya mengandung pengertian kebimbangan antara ada dan tidak ada, antara wujud dan tidak wujud, antara dikerjakan dan tidak dikerjakan. Keraguan dalam kasus ini bisa bersifat sama kuat atau seimbang antara keberadaan dan ketidakberadaannya, dan bisa pula ada yang lebih tinggi salah satu kadarnya.

B. Landasan Yuridis
1. Naqly
Kaidah ini dalam penerapannya menggunakan dasar hukum dua buah hadith nabi saw.
Hadith Pertama,
إذا وجد احدكم في بطنه شيئا فاء سكل عليه اْخرج منه شىء ام لا ؟ فلا يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا اْو يجد ريحا
“Apabila salah seorang diantara kalian merasakan ‘sesuatu’ di dalam perutnya, kemudian dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari perutnya) atau tidak, maka janganlah dia keluar dari masjid (membatalkan shalatnya), sampai dia mendengar suara atau mencium bau” (HR. Muslim).

Hadith Kedua,
إذا شك أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلا أثلاثا ام أربعا ؟ فليطرح الشك وليبني على مااستيقن, ثم يسجد سجدتين قبل أن سلم, فاءن كان صلى خمسا شفعن له صلاته, وإن كان صلى إتماما لأربع كا نتا ترغيبا للشيطان
“Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat ? Maka hendaknya dia membuang jauh-jauh keraguan dan berpeganglah pada keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi-lah) dua kali sebelum salam. Jika (kenyataannya) dia shalat sampai lima rakaat, maka shalatnya akan genap. Namun bila—ternyata—empat rakaat, maka dua sujudnya akan membuat malu setan.
Apabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan rakaat, maka yang dijadikan pedoman (baca : مااستيقن) adalah bilangan minimal. Sebab bilangan inilah yang diyakini. Karena apabila yang dipilih adalah bilangan yang lebih besar, maka ada kemungkinan akan salah perhitungan. Tapi jika jumlah minimal yang menjadi pilihan sebagai landasan untuk meneruskan shalat, kemungkinan salahnya sangat tipis.
دع ما يريبك اءلى ما لا يريبك
Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. al-Nasai, al-Turmudzi dari Hasan bin Ali).
Pesan esensial dari hadith ini adalah bahwa segala hukum segala sesuatu harus dilihat dari kondisi asal yang meyakinkan. Jika kondisi semula adalah batal, maka factor ekternal yang muncul kemudian tidak akan dapat mempengaruhi status hukum batal itu, sehingga hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asalnya adalah sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan mmapu merubahnya. Dari sini terbangun kaidah اليقين لايزال بالشك
2. Aqly
Keyakinan lebih kuat daripada keraguan. Karena dalam keyakinan terdapat hukum qat’i yang meyakinkan. Atas dasar tersebut, maka keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan. Keyakinan secara logika adalah ketetapan hati berdasar pertimbangan-pertimbangan atas banyak bukti yang menyebabkan pada terjadinya keputusan atau ketetapan final.

C. Sub-sub Kaidah
Alasan mendasar mengapa kebimbangan tidak bisa menghilangkan keyakinan adalah karena posisi keraguan (syak) dianggap lebih lemah daripada keyakinan. Keyakinan hanya bisa hilang bila telah ada sebab-sebab pasti yang mampu menghilangkan nilai-nilai dasar keyakinan, yang dalam bahasa fuqaha disebut al-sabab al-munzil (sebab yang mampu menghilangkan). Ringkasnya, keyakinan hanya bisa dihilangkan hukumnya oleh keyakinan lain yang setara dengannya.
Dari kaidah asasi اليقين لايزال بالشك ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. Misalnya :

Pertama, اليقين يزال باليقين مثله
“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Misalnya, kita yakin sudah berwudlu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudlu kita menjadi batal.
Kita berpraduga tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.

Kedua, ان ما ثبت بيقين لا يرتفع إلابيقين
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”
Misalnya, T{awaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan t}awaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang meyakinkan.
Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.

Ketiga, الاءصل براءة الذمة
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Al-Ruki menyebutnya dengan kalimat الأصل في الذمة البراء
Kaidah ini terkasuk kaidah yang kuat. Fuqaha menjadikan penerapan kaidah ini dalam bab-bab yang penting seperti Qadha’ dan hudud.
Kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam hubungan masyarakat (relasi sosial) maupun individualnya adalah keterlepasannya dari tanggungjawab hak orang lain ketika hak itu belum pasti. Secara bahasa, dzimmah memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimmah diartikan sebagai tanggungjawab manusia terhadap suatu barang, atau tanggung jawab berupa hak individu dengan hak individu lainnya. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa, pada dasarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, jika seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi tidak sesuai kondisi asal.
Konstruksi kaidah ini berasal dari hadith Nabi saw yang artinya :
“Mendatangkan bukti wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang didakwa (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad)
Dengan hadith ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan seorang pendakwa (mudda’i) terhadap terdakwa (mudda’a alayh) tidak dibenarkan selama mudda’i tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya adalah mudda’a alayh beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum asal, mudda’a alayh adalah pihak yang bebas dari tanggungan apapun.
Contoh lain adalah : Toyib mengadukan bahwa Malik telah berhutang kepadanya sebesar Rp. 10.000 tetapi pengaduan tersebut tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedangkan Malik menyangkal pengaduan tersebut dan mengatakan bahwasanya ia tidak berhutang kepada Toyib. Mak pengaduan Toyib, menurut kaidah ini tertolak.

Keempat, الاءصل بقاء ما كان على ما كان مالم يكن ما يغيره
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”
Bahwa suatu perkara yang telah berada pada suatu keadaan atau kondisi tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain. Yang semula atau pertama dijadikan karena dasar segala sesuatu adalah tidak berubah atau tetap seperti sedia kala (baqa)
Misalnya, manusia bebas lagi dari tanggungjawab karena datangnya kematian. Kewajiban-kewajiban suami istri hilang karena ada perceraian.
Seseorang ragu apakah berhadath atau belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi sebelumnya. Apabila pada kondisi sebelumnya dia belum berwud{u, maka ia dihukumi berhadath. Tapi apabila sebelumnya dia sudah berwud{u, maka ia dihukumi suci.
Apa yang dihalalkan, maka tetap hukum kehalalannya hingga ada hukum yang mengharamkannya. Demikian juga yang diharamkan tetap pada keharamannya hingga ada dalil hukum yang menghalalkannya. Apa-apa yang diwajibkan tetap hukumnya hingga ada dalil yang merubahnya jadi sunnah atau yang lainnya.
Apa-apa yang suci tetap dalam kesuciannya hingga ada petunjuk atau dalil yang menyatakan kenajisannya. Demikian juga sesuatu yang najis tetap hukumnya hingga ada dalil yang menunjukkan kesuciannya. Demikianlah hal ini berlaku bagi segala sesuatu.

Kaidah serupa adalah الأ صل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum asal adalah ketetapan yang telah dimiliki sebelmnya”
Kaidah ini menandaskan bahwa suatu perkara yang telah berada pada satu kondisi tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain. Alasan utama mengapa hukum yang pertama yang harus dijadikan pijakan, karena dasar segala sesuatu adalah tidak berubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan bersifat spekulatif.

Kelima, الاءصل العدم
“Hukum asal adalah ketiadaan”
Lebih jelas lagi dengan kaidah الاءصل في الصفات العرضة العدم
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada.”
Atau Al-Ruki menyebutnya dengan kalimat الأصل في الأمور العارضة العدم
Sub kaidah ini menandaskan bahwa pada dasrnya setiaporang mukallaf dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut sudah benar-benar terwujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Banyak persoalan-persoalan fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah seorang yang merasakan keraguan dalam salat subuh, apakah ia telah emngerjakan qunut atau tidak, maka ia dianjurkan melakukan sujud sahwi, karena hukum asalnya dia tidak mengerjakan qunut.
Selain itu, dalam kaidah ini juga tercakup kaidah lain yang memiliki ‘nafas’ senada dengan kaidah di atas, yaitu, “Seseorang yang telah yakin melakukan suatu pekerjaan tapi masih ragu, apakah yang dia kerjakan adalah bilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia memilih bilangan yang sedikit, karena bilangan minimal ini sudah pasti dikerjakan”.
Contoh lain adalah seorang suami yang menceraikan istrinya, kemudian timbul keraguan apakah ia telah menjatuhkan dua atau tiga talak ? Maka yang dijadikan pijakan hukum adalah bilangan talak yang lebih sedikit, karena yang lebih sedikit adalah bilangan yang diyakini.
Contoh ketiga, apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap benar adalah perkataan si penjuak, karena pada asalnya cacat itu tidak ada. Kecuali si pembeli menemukan bukti cacat ketika benda itu masih di tangan penjual.

Keenam, الاءصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته
“Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya”
Kaidah tersebut terdapat di dalam kitab madzab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab madzab Syafi’i, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu :
الاءصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمانه
“Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat dengannya.”
Misalnya, seorang wanita yang sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bula, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya bayi itu tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi pada waktu yang telah lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiannya.
Contoh lain, seseorang yang bangun tidur dan mendapati bekas mani di celananya, ia ragu antara mani kemarin atau hari itu. Maka ia dihukumi bermani hari itu, bukan kemarin.

Ketujuh, الاءصل في الأشياء الاءباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan (mubah) sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Misalnya, apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
Kaidah ini berlaku pada fiqh muamalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan kaidah :
الأصل فى العبادة البطلان حتى يقوم الدليل على الأمر
“Hukum asal dalam ibadah mahdlah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”
Sub kaidah ketujuh ini juga sejalan dengan kaidah
الأصل في الأشياء التحريم حتى يدل الدليل على الاءباحة
“Hukum asal sesuatu ituadalah haram sampai munculnya dalil yang membolehkannya”

Kedelapan, الأصل فى الكلام الحقيقة
“Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”
Bahwa segala sesuatu perkataan atas perbuatan berdasar pada makna hakiki perkataan tersebut.
Misalnya, seorang berkata, “saya mau mewakafkan harta saya kepada anak kyai Ahmad.” Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu. Demikianlah kata-kata hibah, juab beli, sewa menyewa, gadai dan lail-lainnya di dalam akad, harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan dalam arti kiasan.
Lain lagi dengan contoh ungkapan seseorang yang akan mewakafkan hartanya pada orang yang hafal al-Qur’an, maka ucapan ini tidak memasukkan orang yang hafal al-Qur’an dan pada akhirnya lupa. Karen aorang yang pernah hafal al-Qur’an lalu lupa, tidak termasuk dalam “wilayah kata” orang hafal dalam makna hakikinya, kecuali harus merambah pada tinjauan majaz, dalam hal ini adalah majaz mursal.

Kesembilan, Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi :لاعبرة بالظن الذي يظهر خطاءه
“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya”
Misalnya, apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor kemudian wakil debitor atau penanggungjawabnya membayar lagi hutang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor. Maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasr persangkaan yang jelas salahnya, yaitu menyangka bahwa hutang belum dibayar oleh debitor.

Kesepuluh, لاعبرة للتوهم
“Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”
Misalnya, apabila seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka. Tidak diakui ahli waris yang dikira-kirakan adanya.

Kesebelas, ما ثبت بزمن يحكم ببقاءه ما لم يقم الدليل على خلافه
“Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Kaidah ini semakna dengan kaidah nomor empat.
Misalnya, seseorang yang pergi jauh, tidak ada kabar beritanya, maka orang tersebut tetap dianggap hidup sampai ada bukti meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia. Dalam hal ini yang meyakinkan bahwa ketika dia pergi dalam keadaaan hidup. Oleh karenanya harta warisan tidak boleh dibagikan dahulu. Istri yang ditinggalkan masih tetap dianggap sebagai istrinya. Artinya, masih berhak terhadap nafkah dan hak-hak lainnya sebagai istri.
Solusi dari masalah ini, dengan mencari beberapa orang yang sebaya dengan orang yang pergi tersebut. Jika orang yang sebaya itu masih hidup, maka bisa dianalogikan bahwa dia (yang pergi) juga masih hidup. Atau bisa juga dengan melihat pada usia berapa ia pergi. Kemudian menambahkan sudah berapa lama tahun Ia pergi. Dengan melihat bahwa orang seumurnya itu sudah meninggal.

Kaidah ke dua belas, الأصل فى الابضاع التحريم
Bahwa asal menyetubuhi farji adalah haram, maka setubuh dapat dilakukan apabila setelah terjadi akad pernikahan.

BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari pembahasan kaidah ini bisa kita simpulkan bahwa sebelum memutuskan sikap kita harus benar-benar memahami proses lahirnya keyakinan dan keraguan itu. Yang kedua dalam memutuskan suatu keyakinan harus benar-benar memahami kondisi sekitar, meneliti bukti-bukti yang ada serta masa atau waktunya. Bahwa keyakinan merupakan hakikat murni dalam hati (qalb) manusia, di mana setiap manusia mukallaf pasti telah dibekali oleh Allah potensi keyakinan tersebut.
Keyakinan lebih kuat daripada keraguan. Karena dalam keyakinan terdapat hukum qat’i yang meyakinkan. Atas dasar tersebut, maka keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan. Keyakinan secara logika adalah ketetapan hati berdasar pertimbangan-pertimbangan atas banyak bukti yang menyebabkan pada terjadinya keputusan atau ketetapan final. Sedangkanlandasan yuridisnya memakai dalil aqli dan naqli Yakin dalam konteks kaidah ini mempunyai makna yang luas. Sebab yang dimaksud yakin di sini juga memasukkan zhan (praduga kuat) di mana z}an itu sendiri belum mencapai derajat yakin. Namun para fuqaha terbiasa menggunakan kata al-‘Ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjuk makna z}an, dan sebaliknya.
Sedangkan shak secara literal biasa diartikan keraguan atau kebimbangan. Secra lebih spesifik, ahli fiqh memaknai shak sebagai keaguan dan kebimbangan akan terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya. Demikianlah pembahasan kaidah kedua ini, semoga menjadi amal yang bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Abu> Ha>mid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa>, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmyah, tt.
Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, cet. V, Beirut, Dar al-Qalam, 142
H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta, Kencana, 2006
Muhammad al-Ruki, Qawa’id al-Fiqh al-Islamiy, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998
Muhammad Syakir, ed., Sunan al-Tirmidzi II, Beirut, Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, tt.
Qadhi Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, al-Isyraf ‘ala Masail al-Khilaf,
dalam Muhammad al-Ruki, Qawaid al-Fiqh al-Islami, cet.I, Beirut, Dar al-Qalam, tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar