Burdah, Syair Ulama Sufi
Judul Buku : Qoshidah Burdah Imam Al-Bushiry (Terjemahan, Faidah dan
Khasiat)
Penulis : KH. Imam Syarwani Abdan
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya & PP. Datuk Kelampayan
Cetakan : I, 2011
Tebal : 175 Halaman
Peresensi : Faizatul Fitriyah*
Abu Abdillah Muhammad bin Sa’id bin Hammad Bin Abdillah bin Sonhaji Al-Bushiry Al-Mishry (608-696/12-12-1296 M) keturunan dari Maghrib (Maroko) dari Qol’ah Hammad , beliau adalah seorang alim terkemuka dalam mengamalkan ilmunya, seseorang yang saleh yang mencintai Allah dan Rasulnya, seorang sufi yang benar-benar terputus dari dunia, sibuk dengan akhirat, yang tercurah perhatiannya pada puji-pujian Nabi Muhammad SAW.
Beliau (Imam Bushiry) sangat pandai dan mahir, sehingga bisa mengungguli kawan-kawannya dalam syair. Beliau juga berguru pada Abbas Al-Mursyi yang terkenal dengan kewaliannya, hakikat dan ma’rifatnya di Alexandria, maka semakin tampaklah barokah dan sinar yang memancar dalam dirinya, sehingga Allah menganugerahkan agama, ilmu, dan kewaliannya.
Diantara syair yang beliau tulis, yang terkenal yaitu Qosidah Burdah yang di dalamnya berisi tentang kerinduan dan cinta peringatan dari hawa nafsuh, dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad selanjutnya tentang Al-Qur’an, isra’ dan mi’raj, jihad dan tawassul. Qoshidah Burdah terdiri yang dari 160 bait, hampir menjadi Qoshidah yang paling penting dalam puji-pujian Nabi sehingga dengan hadirnya Burdah karya Imam Bushiry ini para ‘ulama’ di seluruh dunia menyambut kedatangannya dengan penuh hormat.
Burdah karya Imam Al-Bushiri ini telah banyak diterjemahkan keberbagai bahasa dibelahan dunia, diantaranya adalah Negara Inggris, Jerman, Turki, Melayu, dan Indonesia yang kini hasil terjemahannya ada ditangan pembaca.
Bahkan para sastrawan dunia telah mengakui, bahwa burdah adalah salah satu bentuk karya puisi yang dalam kesusastraan Arab dikenal paling kuat dan bertahan, mudah dihafal, berbobot, kaya dengan estetik, romantik dan apik. Misalnya : amin tadzkuriji jirani bidzi salami—mazajta dam’an jara min muqlatin bidami (Apakah karena ingat tetangga, di negeri Dzi Salam sana-Engkau deraikan air mata bercampur darah duka?), amhayyatir-raiha min tilqai kadzimatin—wa aumadhal barqu fi dzuluma’I min idhami (Ataukah karena hembusan angin dari jalan kazhimah-Dan kilatan cahaya gulita malam dari kedalaman lembah Idham).
Terbitnya buku ini tiada lain (hanya) untuk mempermudah pembaca memahami karya Imam Al-Bushiri yang sedang tenggelam dalam gubangan kecintaan beliau kepada utusan Allah, bukan berarti untuk mengkultuskan Nabi Muhammad sebagai Tuhan, penyelamat. Hakikat memuji Nabi Muhammad SAW bukanlah menganggap sebagai Tuhan, tetapi menyanjung sebagai manusia pilihan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Kami tidak mengutus engkau (Hai Muhammad) keculai sebagai rahmat bagi alam semesta”. Disini terlihat karya Al-Bushri, seperti Abaana mauliduhu ‘an thibi ‘unshurihi—ya thibu mubtada’I minhu wa muhtatami (Kelahiran Rasulullah SAW, menampakkan kesucian dirinya-Alangkah harum titik mulanya, Alangkah harum titik akhirnya).
Memang saking rendah diri (sikap tawadu’) yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW, beliau pernah suatu ketika menolak untuk dikultus-individukan berlebihan dalam pujian seperti umat-umat terhadulu yang memuji para utusan Tuhan. Kekhawatiran tersebut takut dikemudian hari menimbulkan seperti pengultusan yang dilakukan umat Nasrani dan Yahudi yang menempatkan para utusan sebagai makhluk yang sejajar dan memiliki kemiripan dengan Tuhan.
Sejarah Burdah
Konon ketika Imam Bushiry sakit lumpuh separuh (stroke), beliau mendapat usulan dari Zainuddin Ya’kub bin Zubair untuk mengarang Qoshidah Burdah dengan harapan mendapatkn barokah sehingga bisa sembuh dalam penyakitnya. Beliau mengulang –ulang membacanya kemudian dalam tidurnya ia bermimpi di datangi Nabi Muhammad SAW mengusap wajahnya dengan tanganya (Nabi) dan memberikannya sebuah burdah (selimut), kemudian beliau terjaga, tanpa di sangka, beliau mendapatkan kekuatan pada dirinya (Imam bushiry) sehingga ia bisa berdiri dan bangun keluar rumahnya. Kemudian beliau bertemu dengan seorang sufi dan berkata “aku ingin engkau memberikan kepadaku Qoshidah yang isinya memuji Nabi”. Maka Imam Bushiry menjawab “Qosidah yang mana?” dia berkata “Qosidah yang kau tulis saat engkau sakit”, kemudian tersebarlah mimpi itu .
Buku Qoshidah Burdah ini menjelaskan secara terperinci sosok Imam Bushiry yang terkenal dengan kewaro’annya dengan perantara buku ini beliau mengilustrasikan cinta seseorang pada kekasihnya (Nabi) yang tak dapat di gambarkan melainkan apabila seseorang telah mengenal dan mengalaminya sendiri. Cinta yang dirasakan oleh hati lebih tajam kekuatannya dari ap yang di rasakan oleh mata, sebab kelezatan yang dirasakan oleh panca indera tidak selezat yang dirasakan oleh hati.
Seseorang bisa dikatakan cinta pada Tuhannya ketika ia mampu mengutamakan sesuatu yang di sukai tuhanya dari pada diri sendiri baik lahir dan bathin. Seseorang yang merasakan cinta ia takkan mampu memendamnya dalam hati, karena ia akan menampakkan dengan sendirinya dengan bahasa tubuh walaupun hanya sekedar kucuran air mata.
Dalam buku ini dijelaskan tentang wujud dunia yang mana dunia takkan diciptakan melainkan karena Muhammad, tetapi Nabi Muhammad menganggap dunia seperti nasihat dan petunjuk, sedangkan kebaikan akhirat adalah syafaat. Dari sana Nabi Muhammad memilih untuk hidup zuhud.
Sungguh sangat menarik ketika membaca buku ini karena di dalamnya terdapat banyak hikmah dan pelajaran yang seharusnya kita teladani, sementara dalam bab-bab terakhirnya juga berisi banyak peristiwa yang dapat menggugah hati kita seperti halnya Allah menjamin kabar baik terhadap orang yang melakukan peperangan di jalan Allah dan ia dalam rangka tidak memikirkan urusan dunia, dan Allah tidak senang pada orang-orang yang fasik.
Dengan inilah, Qoshidah Burdah karangan Imam Bushiry dapat diakui dan diyakini keistimewaanya hingga era sekarang ini. Selamat membaca!
*Mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Ekonomi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar