KONSEP EMANASI AL-FARABY: TINJAUAN METAFISIS DAN FILOSOFIS REALITAS WUJUD
Peradaban Islam dan kebudayaan Yunani merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Pilar-pilar peradaban Islam yang berhasil melahirkan filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa-jasa ilmuan yang berasal dari kebudayaan pra-Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia dan India. Kebudayaan Yunani telah memberikan andil yang sangat besar bagi bangunan peradaban Islam klasik.
Filsafat sebagai khazanah Islam telah membuktikan diri sebagai lokomotif utama bagi gerakan pengetahuan yang kemudian menjadi fondasi bagi peradaban Islam. Keterbukaan umat Islam terhadap khazanah klasik pra-Islam memberikan ruang bagi proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India. Proses penerjemahan ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam. Filsafat dalam hal ini menjadi bidang yang cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada masa itu.
Dalam tulisan ini, salah satu bagian penting dari sejumlah pemikiran filsafat Islam akan sedikit penulis bahas, yaitu mengenai Pemikiran Metafisis dan Filosofis Al Faraby tentang Realitas Wujud secara Emanasi.
Al Faraby adalah sebagai penerus tradisi intelektual Al Kindi dengan segala kompetensi dan kreativitas berpikirnya serta tingkat sofistikasi yang tinggi dia mencoba memperkenalkan teorinya yang sangat kontroversi dikalangan filosof saat itu yaitu mengenai Bagaimana Pemikiran Metafisis dan Realitas Wujud secara Emanasi?
Sekilas Riwayat Hidup, Karya dan Pandangan Filsafatnya
Al Farabi Nama lengkapnya adalah Abunasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Auzalagh yang biasa di singkat Al-Farabi (870 – 950 M). Beliau adalah seorang, Muslim keturunan Parsi, yang dilahirkan di Wasij, Distrik Farab (Turkestan). Sebutkan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, di mana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya bernama Muhammad Ibn Auzalgh adalah seorang Jendral Panglima Perang Parsi. Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi Perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain ialah bahasa-bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan.
Kendatipun Al Farabi adalah seorang tokoh terkemuka dikalangan para filosof Muslim, namun informasi tentang dirinya sangatlah terbatas. Ia tidak merekam liku-liku kehidupannya begitu juga para muridnya.
Menurut beberapa Literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun meninggalkan negerinya untuk menuju ke Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius seorang kristen, beliau belajar tentang ilmu logika dan filsafat serta belajar Kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al Saraj. Selama berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
Nampaknya pada waktu pertama datang di Baghdad hanya sedikit saja bahasa Arab yang telah dikuasainya. la sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar As-Saraj sebab imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.
Sesudah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Baghdad ia berdiam selama 30 tahun.
Selama di Baghdad ia memakai waktu¬nya untuk mengarang, berdiskusi, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku fil¬safat. Muridnya yang terkenal pada masa ini adalah Yahya Ibnu Ady, filosof Kristen.
Pada tahun 330 H (941 M), ia pindah ke Damsyik/Damaskus, dan di sini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifudaulah, Khalifah Dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehingga ia diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.
Sebagaimana filosof Yunani beliau menguasai berbagai disiplin ilmu. Hal tersebut sangat memungkinkan karena dukungan ketekunan, kerajinan dan kerdasan beliau. Di pihak lain pada masa itu belum ada pemilahan antara buku-buku sains dan filsafat. Maka ketika membaca satu buku akan bersentuhan langsung dengan kedua ilmu tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan atas karya-karya tulisnya, beliau adalah menguasai disiplin Ilmu Matematika, Kimia, Astronomi, Musik, Ilmu Alam, Logika, Filsafat, Bahasa dan lain-lain.
Sebagian besar karangan-karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam bidang¬-bidang logika, fisik dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas fikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Al Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles yang dijuluki Al Mu’allim Al Awwal (guru Pertama), sehingga dengan demikian tidak mengherankan bila Ibnu Sina yang menyandang predikat Al Syeich Al Rais (Kyai Utama) pernah mempelajari buku Metafisika karangan Aristoteles dari empat kali, tetap belum juga mengerti maksudnya. Namun setelah ia mambaca karangan Al-Farabi mendapatkan kunci dalam memahami filsafatnya Aristoteles dari bukunya Al Farabi yang berjudul “Fi Aghradhi Ma’ba’d Al Thabi’at” (Intisari Buku Metafisika).
Sementara beliau dalam dunia intelektual Islam mendapatkan kehormatan dengan julukan Al Mu’allim Al Tsany (guru kedua). Penilaian ini didasarkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles.
Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan tajam dari para komentator karya Aristoteles. Karangan beliau tidak kurang dari 128 buah kitab, yang terbanyak ialah mengenai filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul-Ulum (Ecyclopaedia of Science) beliau memberikan suatu tinjauan umum dari segala sains. Buku ini terkenal di Barat sebagai De kientfis dari terjemahan Latin oleh Gerard Cremona.
Di antara karangan-karangannya ialah :
1. Aghadlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
2. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof-, Maksunyad Plato dan Aristoteles).
3. Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4. ‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5. Ara’yu Ahl-il Madinah al-Fadilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Negeri Utama).
6. Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
7. Maqolat fi Ma’any al ‘Aql
8. Ihsa’ Al Ulum
9. Fushul Al Hukm
10. Al Siayat Al Madaniyyat
11. Risalat Al Aql dan lain-lain.
Dalam buku Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu). Al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagian-bagianya, yaitu ilmu-ilmu bahasa (ilm al-lisan), ilmu manti ilmu matematika (at-taalim), ilmu fisika (al-ilm at-tabi’i), ilmu ketuhan (al-ilm al-Ilahi), ilmu kekotaan (politik, al-ilm al-Madan), ilmu fiqih (ilm al-fiqh), dan ilmu kalam. Nampaknya ilmu-ilmu tersebut telah ditemukan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja Al-Farabi menambahkan dua cabang ilmu lagi, yaitu ilmu fiqh dan ilmu kalam, sebagai ilmu-ilmu keislaman yang mendapat perhatian besar pada masanya.
Al Farabi dan Rekonsiliasi Filsafat
Masalah kefilsafatan sebenarnya telah dibahas dan dicari pemecahannya sejak manusia mampu menggunakan akal pikirannya. Antara persoalan-persoalan, filsafat yaitu masalah ketuhanan yang termasuk dalam pembahasan metafisika.
Kemudian pemikiran tentang ketuhanan yang dilanjutkan oleh para pemikir berikutnya dari masing-masing filosof atau tiap-tiap aliran merumuskan konsepsi ketuhanan yang sesuai dengan keyakinannya, di antara pemikiran itu ada yang saling bertentangan atau berbeda pendapat, tetapi ada pula yang saling melengkapi.
Setelah sampai pada periode filsafat Islam, dalam hal ini Al-Farabi juga mengemukakan konsepsi ketuhanan, tetapi yang didasarkan pada ajaran agama Islam, yang kemudian dibahas menuju pemikiran filsafat.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat, Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dari corak aliran Syi’ah Imamiah. Misalnya dalam soal mantik dan filsafat fisika ia mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plato dan dalam metafisika ia mengikuti Plotinus. Selain itu al-Farabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yang percaya akan kesatuan (ketunggalan) filsafat.
Usaha pemaduan sebenarnya sudah lama dimulai sebelum munculnya Al Farabi dan telah mendapat pengaruh luas dalam lapangan filsafat, terutama sejak adanya aliran neo-Platonisme. Namun usaha AI-Farabi lebih lagi, karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam tetapi ia juga berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu meskipun berbeda-beda corak dan macamnya. Pendirianya ini nampak jelas pada karangan-karanganya, terutama dalam bukunya yang berjudul: Al Jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain (Penggabungan F-ikiran Kedua Filosof, Plato dan Aristoteles).
Filsafat Metafisika Al Faraby
Sebelum Al Faraby muncul, persoalan persoalan filsafat yang penting telah dibahas dan dicarikan pemecahannya terutama oleh para filosof yunani, meskipun terkadang pemecahannya saling berlawanan. Yang tentunya Al faraby juga ikut terlibat di dalamnya. Diantara persoalan yang muncul saat itu adalah masalah “ Esa dan Berbilang”. Dan hubungannya satu dengan yang lain.
Persoalan ini dibahas oleh filsafat yunani atas landasan fisiska semata-mata akan tetapi dalam aliran Iskandariyah (Neo-Platonisme) dan filsafat Islam persoalan tersebut dipindahkan kepada landasan agama. Meskipun dalam mempertemukan kedua aliran tersebut caranya sama namun tujuan jauh berbeda. Tujuan Aliran Iskandariyah dan filsafat Islam ialah membentuk sususnan alam yang dapat mempertemukan hasil-hasil dengan ketentuan-ketentuan agama. Dan dalam hal ini soal “Esa dan Terbilang” menjadi dasar utama bagi bangunan filsafat Keseluruhan.
Pemikiran Tentang Tuhan
(a) Hakekat Tuhan.
Sebelum membicarakan tentang hakikat Tuhan dan sifat-sifat-Nya, ia terlebih dahulu memberi wujud yang ada kepada dua bagian yaitu:
1. Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.
2. Wujud Yang Nyata dengan sendirinya (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalau ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi, berarti ada Tuhan bergantung kepada sebab yang lain. Tuhan adalah wujud yang mulia yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali, Tuhan juga wujud yang paling mulia, karena tidak memerlukan yang lain. Lain halnya dengan wujud yang mungkin (makhluk) yang terdiri dari Dzat dan bentuk, pada Tuhan tidak demiki adanya.
Apabila Tuhan terdiri dari unsur-unsur, maka dengan sendirinya akan terdapat susunan, bagian-bagian pada substansi-Nya. Jadi Tuhan adalah substansi yang tiada bermula, sudah ada dengan sendirinya dan akan ada untuk selamanya.
Karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada. Substansinya itu sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadi wujud-Nya[17].
Tuhan Maha Esa, Maha Sempuma, karena kesempumaan wujud Tuhan tak ada yang menyamai, maka wujudnya tak mungkin terdapat pada selain Tuhan, tidak ada yang seperti wujudnya. Dan tiada sekutu bagi dirinya.
Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila terdapat hal-hal yang membatasi maka berarti Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali dengan batasan yang akan memberi pengertian pada manusia, sebab suatu batasan berarti suatu penyusunan yang akan menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian Dzat dan bentuk, seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang. Lain halnya dengan benda sebagaimana juga manusia, yang dapat diberi definisi sehingga dapat.diketahui pengertian tentang manusia. Pada manusia dapat didefinisikan sebagai hewan yang berakal, hewan menunjukkan golongan, sedangkan berakal menunjukkan perbedaan yang ada dari golongan. Namun Tidak demikian dengan Tuhan yang Mutlak, sebagai substansi, oleh sebab itu definisi tentang Tuhan mustahillah dapat dirumuskan. Suatu rumus definisi tentang Tuhan berarti akan menghilangkan keesaan Tuhan, hal dikemukakan oleh Al-Farabi dalam pendapatnya.
Karena Tuhan itu tunggal sama sekali, maka batasan (definisi) tentang Dia tidak dapat diberikan sama sekali. Karena batasan berarti suatu penyusunan yaitu dengan memakai spesies dan differentia (an nau wal fasl) atau dengan memakai hule dan form seperti halnya denga jauhar (benda) sedangkan kesemua itu adalah mustahil bagi Tuhan.
Maka dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian tentang Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah, Tuhan adalah wujud yang wajib, wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin (makhluq), oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali. Karena Tuhan Maha Sempurna tidak ada yang lebih sempurna kecuali wujud-Nya, sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya. Tuhan Maha Esa, Maha Sempurna, maka keesaan dan kesempurnaan wujud-Nya tidak mungkin diwujudkan dalam definisi sebagaimana benda sebab suatu definisi akan menghilangkan ke Esaan dan kesempurnaan wujud Tuhan, Tuhan tidak lagi substansi yang tidak terbatas karena definisi akan membatasi Tuhan yang Mutlak.
(b) Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ketuhanan Al Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Bahwa Sifat Tuhan tidak berbeda dari Dzat-Nya. Karena Tuhan adalah Tunggal. Hal ini sejalan dengan Mu’tazilah yakni sifat Allah tidak berbeda dengan Dzat-Nya. Dengan kata lain ketika sifat sifat Allah itu berbeda dengan substansi-Nya atau diberi sifat yang wujud sendiri dan kemudian melekatkanya pada Allah maka sifat-sifat tersebut menjadi qodim pula sebagaimana substansiya yang bersifat qodim.
Hal ini akan membawa paham ta’addud al qudama’ (berbilangnya yang qodim). Yang mana hal tersebut tidak boleh terjadi pada Dzat Allah yang Maha Esa. Karena yang bersifat qodim itu hanya Allah maka ketika ada sesuatu yang qodim Ia mesti Allah.
Untuk tahu dan yakin tentang Essensi dan wujud tuhan menurut Al Faraby tidak perlu menambahkan sifat sifat tertentu pada pada Dzat Nya. Hal tersebut disebabkan karena pengetahuan tentang Dzat Tuhan lebih nyata dan yakin dari pengertahuan kita terhadap selain Nya. Sebab Tuhan adalah wujud yang paling sempurna maka pengetahuan tentang Dia adalah pengetahuan yang paling sempurna pula.
Allah bagi Al Farabi adalah ‘Aql murni. Ia Esa ada-Nya dan yang menjadi obyek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya. Tetapi cukup substansi-Nya sendiri. Jadi Allah adalah ‘Aql, ‘Aqil dan Ma’qul (Akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan).
Demikian juga Allah Maha Tahu, Ia tidak membutuhkan sesuatu diluar Dzat-Nya untuk untuk tahu bahkan cukup dengan substansi-Nya saja. Jadi Allah adalah ilmu, substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui (Ilm’, ‘Alim, dan Ma’lum).
Tentang Asma’ Al Husna, Menurut Al Faraby kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada Dzat Allah atau sifat yang berbeda dari Dzat Nya.
(c) Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi dalil teleologi dan dalil kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut (ontologi, teleologi dan kosmologi) untuk sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Di antara dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah meta¬fisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab dan akibat. Dengan melalui rentetan sebab akibat yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi dalam hal ini ada hubungannya sebagai sebab-sebab dan akibat-akibat pada akhimya hubungan sebab akibat akan berhenti satu sebab yang pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan).
Selanjutnya, sebab pertama yang dicapai oleh rentetan sebab akibat itu dengan sendirinya bukan merupakan akibat. Jadi sebab pertama itu merupakan kesudahan dari rentetan hubungan sebab dan akibat. Al Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini. Bertitik tolak dari kenyataan yang disentuh dengan pancaindera (makhluk) untuk kemudian sampai kepada pangkal pertama atau dari wujud yang nungkin kepada wujud yang Wajib.
Pangkal pertama dari wujud yang mungkin ini tidak dapat. ditangkap dengan pancaindera. Jelasnya Al Farabi menggunakan dalilnya atas dasar pemikiran mungkin dan wajib. Menurut Al Farabi “setiap sesuatu yang ada dasamya ada kemungkinan adanya” dan “ada pula wajib adanya”.
Kemungkinkan adanya itu hendaklah ia mempunyai illat yang tampil mengutamakan adanya itu lalu memutuskan adanya dan kemudian mengadakanya ke alam wujud ini. Dan illat-illat ini tidaklah mungkin beredar dalam lingkungan yang tidak berakhir (vicious circle). Tetapi ia itu hendaklah berhenti pada satu titik “adanya” wajibul wujud “Allah” yang Illat itu tidak ada dalam mewujudkannya.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh adanya yang lain, dan keadaan kedua, adanya tanpa sesuatu yang lain atau ada dengan sendirinya dan Sebagai keharusan.
Wujud yang mungkin, adanya dapat disebabkan oleh wujud yang mungkin lainnya. Sebagai contoh suatu buah sebagai wujud yang mungkin buah itu merupakan akibat dari sebab perkawinan antara serbuk sari jantan dan sebuk sari betina yang ada pada pohon, pohon tersebut juga sebagai Wujud yang mungkin dari sebab biji buah yang ditanam. Dari rentetan tersebut tidaklah mungkin terjadi perputaran yang melingkar atau sebab akibat yang tanpa berkesudahan.
Suatu rangkaian yang kejadian pada akhirnya akan berhenti suatu titik akhir yaitu berkesudahan pada wujud yang wajib. Sebagai sebab pertama dari segala wujud yang mungkin. Wujud yang mungkin ditentukan oleh sebab yang lain, wujud yang wajib itu sendiri, yang disebut dengan Tuhan (Allah). Pembuktian dengan kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al Farabi termasuk dalil sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal suatu keyakinan yang mengharuskan adanya Tuhannya. Jadi merupakan peloncatan pikiran dari kesimpulan adanya sebab pertama atau wujud wajib yang harus diyakininya, bahwa sebab pertama itu adalah Tuhan.
Teory Emanasi (Al Faidl) Al Faraby
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud”
Teori ini sebenamya terdapat pula dalam paham Neo-Platon. Perbedaan antara keduanya yaitu terletak uraian Al-Farabi yang ilmiah. Menurut teori emanasi Al-Farabi disebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu yang keluar dari pada Nya juga satu wujud saja, emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Dzat-Nya satu. Kalau apa yang keluar itu pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama, mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkin. Kedua segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan. Sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Dari pemikiran Akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula; al¬al-a’la) dengan jiwanya sama sekali jiwa langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu bendanya benda langit dan jiwanya
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama.
Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya.
Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya.
Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (az-Zuharah) juga beserta jiwanya.
Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.
Dari Akal Kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajibul-wujud karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan benda-benda langit. Dan di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah tidak bisa menghasilkan akal yang sejenisnya.
Jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh, hal ini sesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan di mana untuk tiap-tiap ¬akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.
Stuktur Emanasi Al Faraby saat itu dipengaruhi oleh temuan saintis yang pada saat itu jumlah bintang adalah sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda yang terjauh (al-falak al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah), yang diambil dari Ptolomey (atau Caldius Ptolomaeus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad ke dua Masehi.
Demikianlah, maka jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh yaitu Bulan mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Akal-akal tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran yaitu Dzat-Nya, maka pada akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Dzat yang wajibul-wujud dan diri akal-akal itu senditi.
Namun menurut hemat penulis, sekiranya Al Faraby hidup di jaman ini maka tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal, sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang.
Untuk lebih jelasnya penulis membuatkan tabel Teori Emanasi oleh Al Faraby:
Tabel Teori Emanasi oleh Al Faraby
(Subyek)
Akal yang ke- Sifat Berpikir Tentang Keterangan
Allah Sebagai Wajib Al Wujud, Menghasilkan Dirinya sendiri sebagai Mumkin Al Wujud, Menghasilkan
I Mumkin Wujud Akal II Langit Pertama Masing-Masing akan mengurusi Satu Planet
II Sda Akal III Bintang-bintang
III Sda Akal IV Saturnus
IV Sda Akal V Yupiter
V Sda Akal VI Mars
VI Sda Akal VII Matahari
VII Sda Akal VIII Venus
VIII Sda Akal IX Merkurius
IX Sda Akal X Bulan
X Sda Bumi, Roh, Materi pertama yang menjadi keempat unsur: Udara, Air, Api, Tanah. Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya, Karena kekuatannya sudah lemah
Dari beberapa uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Hakekat wujud menurut Al Faraby adalah terbagi menjadi dua bagian yaitu: Pertama Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Dan Kedua Wujud Yang Nyata dengan sendirinya (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
2. Pengertian tentang Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah, Tuhan adalah wujud yang wajib, wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin (makhluq), oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali. Karena Tuhan Maha Sempurna tidak ada yang lebih sempurna kecuali wujud-Nya, sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya. Tuhan Maha Esa, Maha Sempurna, maka keesaan dan kesempurnaan wujud-Nya tidak mungkin diwujudkan dalam definisi sebagaimana benda sebab suatu definisi akan menghilangkan ke Esaan dan kesempurnaan wujud Tuhan, Tuhan tidak lagi substansi yang tidak terbatas karena definisi akan membatasi Tuhan yang Mutlak.
3. Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar